WASIAT MENURUT PANDANGAN ISLAM
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن
تَرَكَ خَيْراً الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِينَ , فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا
إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ , فَمَنْ
خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفاً أَوْ إِثْماً فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلاَ إِثْمَ
عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS.
2:180) Maka barangsiapa yang mengubah
wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi
orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi
Mahamengetahui. (QS. 2:181) (Akan tetapi) barangsiapa khawatir ter-hadap orang yang
berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan
antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun
lagi Mahapenyayang. (QS.
2:182)
Ayat ini mengandung perintah memberikan wasiat kepada kedua
orang tua dan kaum kerabat. Menurut pendapat yang lebih kuat, pemberian wasiat
itu merupakan suatu hal yang wajib sebelum turunnya ayat mengenai mawaris (pembagian
harta warisan). Dan ketika turun ayat fara'idh, ayat washiyat itu dinasakh,
dan pembagian warisan yang ditentukan menjadi suatu hal yang wajib dari Allah Ta'ala
yang harus diberikan kepada ahli waris, tanpa perlu adanya wasiat serta
tidak mengandung kemurahan dari orang yang berwasiat. Oleh karena itu,
disebutkan hadits yang terdapat dalam kitab as-Sunan dan lainnya, dari
Amr bin Kharijah, katanya, aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu
'alaihi wa sallam berkhutbah, dan beliau bersabda:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كَلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلاَ
وَصِيَّةِ لِوَارِثٍ.
"Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap
yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris."
Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, katanya,
ketika Ibnu Abbas duduk dan membaca surat al-Baqarah hingga sampai ayat ini, Î إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَاْلأَقْربِينَ Ï "Jika
ia meninggalkan harta yang banyak, ber-wasiat kepada ibu bapak dan karib
kerabatnya," ia pun mengatakan, "Ayat ini sudah dinasakh."
Hadits di atas juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab
al-Mustadrak, dan menurutnya shahih sesuai persyaratan al-Bukhari dan Muslim.
Dan mengenai firman-Nya, Î الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ
Ï "Berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya," Ali bin
Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, "Pada mulanya tidak ada yang
memperoleh warisan dengan adanya ibu-bapak kecuali ia berwasiat kepada kaum
kerabat. Kemudian Allah Ta'ala menurunkan ayat tentang mawaris, di
dalamnya diterangkan bagian kedua orang tua dan ditetapkan wasiat untuk karib
kerabat dengan sepertiga harta si mayit."
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat:
Î الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَاْلأَقْرَبِينَ Ï "Berwasiat
kepada ibu bapak dan karib kerabatnya," ini telah dinasakh dengan
ayat:
Ï
لِّلرِّجَـالِ نَصِيبُُ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَـآءِ نَصِيبُُ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِـدَانِ
وَاْلأَقْرَبُـونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُـرَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًـا Î
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabat-nya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari
harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan." (QS.
An-Nisaa': 7)
Mengenai hal tersebut di atas, penulis (Ibnu Katsir)
katakan, "Kewajiban berwasiat kepada ibu bapak dan juga karib kerabat yang
termasuk ahli waris itu menurut ijma' telah dinasakh, bahkan
dilarang." Hal itu didasarkan pada hadits:
إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطـىَ كَلَّ ذِيٍ حَقٍّ حَقَّهُ، فَلاَ
وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.
"Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap
yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris."
Dengan demikian, ayat mawaris merupakan hukum yang
independen dan kewajiban dari sisi Allah bagi ashhabul furudh (ahli
waris yang mendapat bagian tertentu) dan juga ashabah (ahli waris yang
menerima sisa bagian dari ashhabul furudh), dengan ayat ini hukum wasiat
terhapus secara total. Dengan demikian yang tertinggi adalah kaum kerabat yang
tidak berhak memperoleh warisan. Disunnahkan kepada seseorang untuk berwasiat
bagi mereka dari sepertiga hartanya sebagai respon atas ayat wasiat dan
keumumannya. Selain itu, diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim
dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
مَا حَقُّ امْرِىءٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْئٌ يُوصِى فِيهِ يَبِيتُ
لَيْلَتَيْنِ، إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ.
"Tidak dibenarkan bagi seseorang muslim yang memiliki
sesuatu untuk di-wasiatkan berdiam diri selama dua malam, melainkan wasiat itu
telah tertulis di sisinya." (Muttafaq
'alaih).
Ibnu Umar menuturkan, "Tidak ada satu malam pun yang
berlalu dariku sejak aku mendengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa
sallam menyampaikan hal itu melainkan wasiatku berada di sisiku."
Dan firman-Nya, Î إِن تَرَكَ
خَيْرًا Ï "Jika ia
meniggalkan harta yang banyak." Di antara para ulama ada yang
berpendapat bahwa wasiat itu disyari'atkan, baik harta warisan itu sedikit
maupun banyak seperti halnya warisan. Tetapi di antara mereka ada juga yang
berpendapat, bahwa wasiat itu hanya dilakukan bila seseorang meninggalkan harta
yang banyak.
Firman-Nya lebih lanjut, Î بِالْمَعْرُوفِ Ï "Dengan cara yang baik." Artinya
dengan lemah lembut dan baik. Dan yang dimaksud dengan makruf adalah hendaklah
seseorang berwasiat kepada kaum kerabat tanpa menghancurkan (masa depan) ahli
warisnya; tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Sebagaimana yang
dinyatakan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Sa'ad pernah
bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhya aku mempunyai harta kekayaan
(yang cukup banyak) dan tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang puteriku,
apakah aku boleh mewasiatkan dua pertiga hartaku?" "Tidak",
jawab Rasulullah. "Apakah setengahnya?" tanyanya lebih lanjut. Beliau
menjawab, "Tidak." Ia bertanya lagi, "Apakah
sepertiga?" Beliau menjawab, "Ya, sepertiga, dan sepertiga itu
banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta
kepada orang lain."
Sedangkan dalam kitab Shahih al-Bukhari diriwayatkan,
bahwa Ibnu Abbas berkata, "Seandainya orang-orang mengurangi(nya) dari
sepertiga menjadi seperempat itu sudah cukup karena sesungguhnya
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Sepertiga,
dan sepertiga itu banyak."
Dan firman-Nya, Î فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا
سَمِعَهُ فَإِنَّمَآ إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ
عَلِيمٌ Ï "Maka
barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya
dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguh-nya Allah
Mahamendengar lagi Mahamengetahui." Artinya, barangsiapa
me-nyelewengkan wasiat itu dan menyimpangkannya, lalu mengubah ketetapannya
dengan menambah dan mengurangi, tentu saja termasuk dalam hal ini adalah
menyembunyikannya. Î فَإِنَّمَآ إِثْمُهُ عَلَى
الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ Ï
"Maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang
mengubahnya." Ibnu Abbas dan beberapa ulama lainnya mengemukakan,
"Pahala si mayit itu berada di sisi Allah, sedangkan dosanya (mengubah
wasiat) bergantung pada orang-orang yang mengubahnya." Î إِنَّ اللهَ سَمِيـعٌ عَلِيـمٌ
Ï "Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Maha-mengetahui."
Artinya, Allah Ta'ala mengawasi apa yang diwasiatkan si mayit, dan Dia
mengetahui hal itu serta perubahan yang dilakukan oleh penerima wasiat.
Firman Allah berikutnya, Î فَمَنْ
خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا
Ï "(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu
berlaku berat sebelah (tidak adil) atau berbuat dosa." Ibnu Abbas
mengatakan, janaf berarti kesalahan, ini mencakup segala macam kesalahan.
Misalnya, mereka menambah seorang ahli waris dengan memakai perantara atau
sarana, seperti misalnya jika seseorang berwasiat supaya menjual sesuatu barang
tertentu karena pilih kasih. Atau seseorang berwasiat untuk anak dari puterinya
agar bagian puterinya bertambah atau cara-cara lainnya yang semisal, baik
karena keliru tanpa disengaja, tetapi karena naluri dan amat sayang yang tanpa
disadari, atau karena disengaja berbuat dosa. Dalam keadaan seperti itu, orang
yang diserahi wasiat boleh memperbaiki permasalahan ini dan melakukan perubahan
dalam wasiat itu sesuai dengan aturan syari'at, serta melakukan perubahan
wasiat yang disampaikan si mayit itu kepada wasiat yang lebih mendekati yang
sesuai untuk memadukan antara maksud pemberi wasiat dan cara yang syar'i.
Perbaikan dan pemaduan ini sama sekali bukanlah disebut perubahan.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ , أَيَّاماً
مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن
تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن
كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa. (QS. 2:183)
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS.
2:184)
Allah Ta'ala menyerukan kepada orang-orang yang
beriman dari umat ini dan memerintahkan mereka untuk berpuasa. Puasa berarti
menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh, dengan niat yang tulus karena
Allah Ta'ala, karena puasa mengandung penyucian, pembersihan, dan
penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan akhlak tercela.
Allah Ta'ala juga menyebutkan, sebagaimana Dia telah
mewajibkan puasa itu kepada mereka, Dia juga telah mewajibkannya kepada
orang-orang sebelum mereka, karena itu ada bagi mereka dalam hal ini suri teladan.
Maka hendaklah mereka bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban ini dengan
lebih sempurna daripada yang telah dijalankan oleh orang-orang sebelum mereka.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
Ï
لِـكُّلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِـرْعَةً وَ مِنْهَاجًـا
وَلَوْ شَآءَ اللهُ لَجَـعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِـدَةً وَ لَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ
فِـي مَـآءَ اتَاكُمْ فَاسْـتَبِقُوا الْخَيْـرَاتِ Î
"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak mengujimu terhadap
pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan." (QS. Al-Maaidah: 48)
Oleh karena itu dalam surat al-Baqarah ini, Allah berfirman:
Î يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَ امَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ Ï "Wahai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajib-kan
atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa." Karena puasa dapat
menyucikan badan dan mempersempit jalan syaitan, maka dalam hadits yang
terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim ditegaskan, bahwasanya
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَـرَ الشَّبَابِ مَنِ السْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ، وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَأِنَّهُ لَهُ
وِجَاءٌ.
"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang
sudah mampu untuk menikah maka hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa tidak
mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa merupakan penawar baginya."
Setelah itu Allah menjelaskan waktu puasa. Puasa itu tidak
dilakukan setiap hari supaya jiwa manusia ini tidak merasa keberatan sehingga
lemah dalam menanggungnya dan menunaikannya. Tetapi puasa itu diwajibkan hanya
pada hari-hari tertentu saja.
Pada permulaan Islam, puasa itu dilakukan tiga hari sekali
pada setiap bulan. Kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan puasa satu
bulan penuh, yaitu bulan Ramadhan, sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut.
Diriwayatkan dari Mu'adz, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Atha',
Qatadah, dan adh-Dhahhak bin Muzahim, bahwa puasa itu pertama kali dijalankan
seperti yang diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya, yaitu tiga hari setiap
bulannya. Ditambahkan oleh adh-Dhahhak, bahwa pelaksanaan puasa seperti ini
masih tetap disyari'atkan pada permulaan Islam sejak Nabi Nuh u sampai Allah Ta'ala
manasakhnya dengan puasa Ramadhan.
Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan, dari Ibnu Umar, katanya;
diturunkannya ayat, Î كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّـيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُـمْ Ï "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelummu," puasa itu diwajibkan kepada mereka, jika
salah seorang di antara mereka mengerjakan shalat isya' kemudian tidur,
diharamkan baginya makan, minum, dan (menyetubuhi) istrinya sampai waktu malam
lagi seperti itu.
Kata Ibnu Abi Hatim, hal senada juga diriwayatkan dari Ibnu
Abbas,
Abu al-Aliyah, Abdur Rahman bin Abi Laila, Mujahid, Sa'id bin
Jubair, Muqatil bin Hayyan, Rabi' bin Anas, dan Atha' al-Khurasani.
Mengenai firman-Nya, Î كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ Ï "Sebagaimana
diwajib-kan atas orang-orang sebelummu," Atha' al-Khurasani
meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, "Yang dimaksudkan dengan hal itu adalah
Ahlul Kitab."
Selanjutnya Allah Ta’ala menjelaskan hukum puasa
sebagaimana yang berlaku pada permulaan Islam. Dia berfirman,
Î فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ
عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ Ï "Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu dari hari-hari yang lain." Artinya, orang yang
sakit dan orang yang dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa, karena
hal itu merupakan kesulitan bagi mereka, boleh mereka tidak berpuasa tetapi
mengqadhanya pada hari-hari yang lain. Adapun orang yang sehat dan tidak
berpergian tetapi merasa berat berpuasa, baginya ada dua pilihan; berpuasa atau
memberikan makan. Jika mau, ia boleh berpuasa, atau boleh juga berbuka, tetapi
harus memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya. Dan jika ia
memberikan makan lebih dari seorang pada setiap harinya, maka yang demikian itu
lebih baik. Dan berpuasa adalah lebih baik daripada memberi makan. Demikian
menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan,
dan ulama salaf lainnya. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman,
Ïوَعَلَـى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِيـنٍ
فَمَن تَطَوَّعَ خَيْـرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ
إِن كُنتُمْ تَعْلَمُنَ Î
"Dan wajib bagi orang-orang yang merasa berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka yang demikian itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih
baik bagimu jika kamu mengetahui."
Demikian pula yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, dari
Salamah bin Akwa katanya, ketika turun ayat, Î وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ Ï "Dan bagi orang-orang yang merasa berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin." Ketika itu, bagi siapa yang hendak berbuka
(tidak berpuasa), maka membayar fidyah, hingga turun ayat yang berikutnya dan
manasakhnya.
Dan diriwayatkan dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu
Umar, bahwa hal tersebut sudah dinasakh.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Atha', bahwa ia pernah
mendengar Ibnu Abbas membaca ayat, Î وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ Ï "Dan bagi orang-orang yang merasa berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi
makan seorang miskin." Kata Ibnu Abbas, "Ayat tersebut tidak
dinasakh, karena yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah orang tua laki-laki dan
perempuan yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa, maka ia harus memberikan
makan setiap harinya seorang miskin." Demikian pula diriwayatkan oleh
beberapa periwayat dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas.
Kesimpulannya, bahwa nasakh itu tetap berlaku bagi
orang sehat yang bermukim (tidak melakukan perjalanan) dengan kewajiban
berpuasa baginya melalui ayat, Î فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ Ï "Barangsiapa
di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa." Sedangkan orang tua renta yang tidak sanggup
menjalankan ibadah puasa, maka diperbolehkan baginya berbuka (tidak berpuasa)
dan tidak perlu mengqadhanya, karena ia tidak akan mengalami lagi keadaan yang
memungkinkannya untuk mengqadha puasa yang ditinggalkannya itu. Tetapi, apakah
jika ia berbuka (tidak berpuasa) juga berkewajiban memberi makan setiap hari
seorang miskin, jika ia kaya?
Mengenai hal tersebut di atas terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan tidak ada kewajiban baginya memberikan makan kepada
orang miskin, karena usianya ia tidak sanggup memenuhinya, sehingga ia tidak
diwajibkan membayar fidyah, seperti halnya bayi, karena Allah Ta'ala
tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ini
merupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i.
Sedangkan pendapat kedua dan merupakan pendapat yang shahih
dan yang menjadi pegangan mayoritas ulama, bahwa wajib baginya membayar fidyah
untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya. Sebagaimana yang ditafsirkan
oleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama salaf lainnya. Pendapat ini menjadi pilihan
Imam al-Bukhari, di mana ia mengatakan, mengenai orang yang sudah tua jika ia
tidak mampu menjalankan puasa, maka membayar fidyah. Karena Anas ketika telah
tua pernah setahun atau dua tahun ia tidak berpuasa dan memberi makan roti dan
daging kepada seseorang miskin setiap hari. Atsar mu'allaq yang
diriwayatkan al-Bukhari telah disebutkan sanadnya oleh al-Hafiz Abu Ya'la
al-Mushili dalam musnadnya, dari Ayub bin Abu Tamimah, katanya, "Anas
tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, lalu ia membuatkan bubur roti satu
mangkok besar, kemudian mengundang tiga puluh orang miskin dan memberinya makan."
Dan diriwayatkan seperti itu oleh Abd bin Humaid, dari Ayub. Senada dengan hal
ini diriwayatkan pula oleh Abd dari enam sahabat Anas, dari Anas.
Termasuk dalam pengertian ini adalah wanita hamil dan yang
me-nyusui jika keduanya mengkhawatirkan keselamatan diri dan anak mereka. Dalam
masalah ini terdapat banyak perbedaan pendapat di antara para ulama. Di antara
mereka ada yang berpendapat bahwa keduanya (wanita hamil dan yang menyusui)
boleh tidak berpuasa, tetapi membayar fidyah dan mengqadha puasanya. Dan
ada pula yang mengatakan wajib membayar fidyah saja dan tidak perlu
mengqadha.
Ada juga yang berpendapat, wanita hamil dan wanita yang
sedang menyusui itu berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya tanpa
membayar fidyah. Tetapi ada juga yang berpendapat kedua wanita itu boleh
berbuka dengan tanpa membayar fidyah dan tidak juga mengqadhanya.
Alhamdulillah,
masalah ini telah kami uraikan secara panjang lebar dalam kitab Shiyam yang
kami tulis secara khusus.
Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun
Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad
Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi'i)
0 comments:
Post a Comment