Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday, December 26, 2013

ARTI SEBUAH KELUARGA DALAM KEHIDUPAN

ARTI SEBUAH KELUARGA

Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidupnya dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan didalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan.(Menurut Salvicion dan Ara Celis). Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa keluarga adalah :

- Unit terkecil dari masyarakat
- Terdiri atas 2 orang atau lebih
- Adanya ikatan perkawinan atau pertalian darah
- Hidup dalam satu rumah tangga
- Di bawah asuhan seseorang kepala rumah tangga
- Berinteraksi diantara sesama anggota keluarga
- Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing
- Diciptakan, mempertahankan suatu kebudayaan

Keluarga merupakan cikal bakal wajah peradaban. Baik buruknya masyarakat bisa dinilai dari profil-profil keluarga didalamnya. Belakangan ini kita dapat mengamati apa yang membuat sebuah keluarga itu retak. Kalo dipikir-pikir, keluarga itu kan ikatan yang sangat kuat. Orang-orang didalamnya dipertemukan oleh Tuhan bukan tanpa sebab, sudah ada pertimbangan menurut ukuran-Nya. Komposisinya tidak bisa digantikan oleh yang lain. Pernikahan yang menjadi awal sebuah keluarga pun selalu direalisasikan dalam perhelatan yang agung nan meriah. Akan tetapi oh akan tetapi…banyak sekali terdengar cerita perceraian atau keluarga yang ‘berantakan’ tapi belum masuk tahap perpisahan.

Hal ini disebabkan karena banyak manusia yang tidak memahami arti sebuah keluarga. Mereka hanya berlomba-lomba untuk mendapatkan kesenangan-kesenangan hidup duniawi. Slogan-slogan mereka adalah memuaskan hawa nafsunya, “Yang Penting Puas”. Prinsip dan misi mereka adalah bagaimana mereka dapat menikmati kehidupan, seakan-akan mereka tumbuh dari biji-bijian, kemudian menguning dan mati tanpa ada kebangkitan, perhitungan dan hisab.

Arti sebuah keluarga adalah saling memiliki, saling percaya, saling menghormati, saling melindungi dan saling berbagi rasa, saling menjaga kehormatan serta saling menjaga rahasia diantara Ayah, Ibu, Anak, kakak dan adik.

Berkaitan dengan upaya membangun keluarga bahagia, tiga hal yang penting berhubungan dengan itu adalah bagaimana merenda keluarga bahagia, bagaimana menjadi wanita idaman dalam keluarga, dan bagaimana menjadi orang tua yang cerdas dan efektif. Untuk mampu merenda keluarga bahagia, perlu berbagi peran dengan adil antara suami dan istri, berusaha mengatasi krisis keluarga dan mengukuhkan integritas keluarga. Sesungguhnya kunci untuk para pasangan merasa bahagia adalah mereka puas dengan rencana mereka tentang pekerjaan dan tugas-tugas rumah tangga, dan merasa bahwa kontribusi tiap pasangan adalah pantas. Oleh karena itu, pekerjaan keluarga dan tugas rumah tangga tidak dapat dibagi rata antara suami dan istri, tetapi bidang kerja itu dirasakan pantas.

Pepatah Tiongkok lama mengatakan keluarga adalah mutiara. Begitu berharganya nilai sebuah keluarga sehingga dia disamakan dengan mutiara. Karena dari sebuah keluargalah kita lahir, tumbuh dan dewasa. Sehingga begitu dalam makna keluarga yang harus kita patrikan didalam hati kita kelak dan selamanya. Kadangkala kita dengan alasan kerja mengabaikan keluarga kita, suami, istri, orang tua ataupun anak-anak kita. Namun kita lupa bahwa sesungguh kebahagiaan sejati bukan hanya diukur dari materi namun dari kehangatan sejati yang kita peroleh dari saling berbagi dalam kebersamaan sebuah keluarga. Kita boleh bersosialisasi dengan orang diluar keluarga kita namun alangkah bijaknya jika kita juga bisa meluangkan sedikit waktu kita yang berharga untuk memberikan curah kasih pada keluarga kita.

kisah Tragedi Tsunami Aceh yang mengharukan

Tragedi Tsunami Aceh menyisakan banyak kisah yang mengharukan, sekaligus jadi bahan renungan. Dan setiap bencana biasanya diikuti perjuangan penuh kesedihan untuk menata lagi kehidupan yang mendadak berada di titik nol.

Hebatnya, ada individu-individu yang meski didera kesusahan namun tetap melakukan sesuatu yang berguna bagi banyak orang. Bahkan bagi orang yang sudah mati. Sang pahlawan yang dimaksud adalah Abdul Madjid. Setiap malam Ia harus berebut tulang dengan anjing-anjing kelaparan, agar mayat korban tsunami bisa beristirahat dengan tenang.

Beginilah kisahnya, sebagaimana ditulis Maimun Saleh.

Ketika malam turun di pemakaman di Siroen, Lambaro, selalu terdengar lolongan anjing, seolah mereka tengah berdiskusi. Disertai angin malam yang dingin, dan sunyi yang mencekam, gambaran film horor itu seolah hadir di kawasan Aceh besar pasca-tsunami. Pada saat itulah, Abdul Madjid menyalakan senter, lalu mengarahkan cahaya ke kerumunan anjing itu. Ia terperangah. Anjing-anjing itu berkelahi memperebutkan tulang-belulang manusia!

Abdul menghardik. Mereka tak peduli. Setelah dilempari batu, barulah anjing-anjing itu kabur. Abdul memungut kembali tulang yang berserakan, lalu dikumpulkan dengan alas daun pisang. Pada malam yang sunyi itu ia menguburkan tulang-tulang tersebut. Sendirian. Tapi kawanan anjing tadi berhasil membawa kabur dua tulang kaki, dua tulang tangan, dan satu tengkorak kepala.

Peristiwa Sabtu malam itu, dua pekan setelah tsunami menggulung Banda Aceh, terjadi di kuburan massal korban tsunami yang terletak di Siroen, Lambaro, Aceh Besar. Lima puluh ribu orang dimakamkan di situ, tapi penjaganya cuma Abdul Madjid seorang diri. Pria berusia 48 tahun ini ikut membantu penguburan sejak awal. ”Tiga jam sekali, ada jenazah masuk,” kata Abdul.

Sejak malam pertama, kawanan anjing sudah mengincar kuburan ini. Anjing-anjing itu asyik berebut daging, juga tulang-tulangnya. Abdul sedih. Ia lalu berinisiatif ronda malam seorang diri. Maklum, banyak orang yang ngeri dengan kuburan massal itu.

Tak cuma kuburan itu yang aman, warga pun merasa sentosa. Maklum, banyak orang yang ngeri dengan kuburan massal itu. Sang istri bahkan sempat menjauh. ”Setiap pulang, baju dan badannya bau mayat,” Aisyiah mengisahkan kegiatan suaminya.Untung, Aisyiah kini tak takut lagi. Yang dia cemaskan cuma biaya hidup rumah tangga. Sebab, pekerjaan menjaga kuburan ini gratisan. Kalaupun ada yang membayar, sifatnya sukarela.

Abdul Madjid sempat berinisiatif menaruh dua celengan di sisi kiri-kanan makam. Maksudnya agar para pezirah menaruh duit di dalamnya. Duit itu kemudian dipakai Abdul Madjid untuk membeli karpet plastik, sapu, dan berbagai peralatan bersih-bersih lainnya. Sisa uang diserahkan ke Masjid Batul Izzati, yang berada di seberang jalan. Tapi Abdul justru dituduh makan uang kuburan itu. ”Padahal, demi Tuhan, saya tidak melakukannya,” katanya sedih.

Karena asap dapur seret mengepul, ia akhirnya menjual sapinya yang laku Rp 2,4 juta. Sapi itu adalah upah atas pengembalaan hewan ternak salah seorang warga. Dan hanya itu harta Abdul Madjid satu-satunya. Uangnya sudah habis pula untuk berobat sang istri yang didera penyakit jantung.

Kisah sedih seakan terus menguntit Abdul Madjid. Rumah tinggalnya dihancurkan karena pemilik tanah tak lagi memberikan izin menetap di situ. Dalam keadaan mabuk si tuan tanah ini mengusir keluarga Abdul Madjid. Kini, bersama keluarga, Abdul menetap di bekas kandang sapinya dengan perbaikan seadanya.

Hidup susah itu tak membuatnya meninggalkan kuburan massal yang dia anggap sebagai kewajibannya sebagai warga. Jiwa-jiwa di situ seakan terus memanggilnya. Hingga kini ritual ini sudah bagian dari napasnya: mengitari kuburan, mengusir anjing yang berebut daging manusia, lalu menguburkan tulang-tulang yang berserakan. Sendirian. Di kegelapan malam. ”Saya ingin mencari pintu taubat di sini,” katanya sembari menerawang.

Kini kuburan yang dulu gersang itu tampak hijau. Abdul Madjid menanaminya dengan kembang sepatu, serunai rambat, bunga raya, dan pohon pepaya. Saban malam ia berada di situ. Sempat sepekan ia absen. Tapi itu karena ia diserang diare berat. Tapi selebihnya ia adalah penjaga yang setia.

Sunday, December 22, 2013

Orang Cerdas adalah Orang Yang Selalu Ingat Mati

Orang Cerdas adalah Orang Yang Selalu Ingat Mati


Setiap orang meyakini bahwa setiap jiwa yang bernafas pasti akan mengalami kematian. Namun, kesibukan sehari-hari seringkali membuat orang terlena dan lupa bahwa besok atau lusa akan dipanggil oleh Alloh SWT. Sampai tiba suatu saat, malaikat datang menjemput, dan pupuslah semua kelezatan dunia beralih menuju kehidupan yang abadi di sisi-Nya.

Orang beriman seharusnya tidak takut menghadapi mati, karena mati adalah sebuah keniscayaan. Yang harus ditakuti adalah apakah amal kita sudah cukup untuk menghantarkan pada kebahagiaan di akhirat?. Abu Bakar R.A saat ditanya oleh seorang sahabat, berapa kali anda ingat kematian dalam sehari? Abu bakar menjawab, “Saya mengingat mati manakala mata saya terjaga”. Itulah, sikap seorang teladan dalam mengingat kematian yang dengannya dapat menghantarkan pada puncak iman yang luar biasa.

Hidup di dunia hanyalah sementara, nikmat dunia yang diberikan Alloh masih sedikit. Dari 100 rahmat-Nya hanya 1 rahmat yang diberikan ke dunia untuk dinikmati seluruh penghuni. Sehingga orang yang cerdas, adalah mereka yang mengarahkan hawa nafsu dan beramal untuk mempersiapkan kematian. Sementara orang yang bodoh, adalah mereka yang diperbudak hawa nafsu, berangan-angan mendapatkan pahala, serta mati-matian mengejar dunia siang dan malam dengan melupakan kehidupan akhirat.

Saat Nabi ditanya, “Ya rosul, siapakah orang mukmin yang paling cerdas? Nabi menjawab, “Mereka yang sering mengingat mati dan (tekun) mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat.”

Salah seorang ulama mengatakan, siapa orang masuk liang kubur tanpa membawa amal banyak, maka seolah-olah ia mengarungi lautan tanpa perahu. Ia akan tenggelam diterpa badai.

Jadi, mengingat kematian haruslah menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian waktu kehidupan yang dijalani. Mengingat kematian tidak hanya sekedar mengingat, namun harus diikuti dengan amalan yang terus menerus dan sungguh-sungguh. Amalan untuk mempersiapkan kehidupan abadi di akhirat, yang hanya memiliki dua tempat yakni kebahagiaan (surga) dan penderiaan (neraka).

Nabi bersabda “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian)”.

Dalam hadits lain nabi bersabda, ” Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang kematianmu.

Lalu, apa sajakah usaha yang bisa diperbuat agar senantiasa ingat terhadap kematian?. Berikut salah satu kiatnya.

#1. Sering Mengunjungi Orang Sakit

Saat mengunjungi orang sakit, selain memberikan doa agar diberikan ketabahan dalam menghadapi cobaan Alloh, juga harus mendapatkan pelajaran bahwa sakit atau kematian bisa saja datang kepada siapa saja yang Alloh kehendaki tanpa memandang orang, tempat dan waktu.

#2. Mengunjungi Orang Mati

Saat mengunjungi orang yang meninggal, selain mendoakan kepada jenazah dan keluarga yang ditinggalkan, juga harus menjadikan pelajaran atau nasehat bahwa kematian merupakan rahasian Alloh yang tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan datangnya kematian.

#3. Ziarah Kubur

Disunahkan menziarahi kubur, sebagai momentum untuk Mendoakan dan mengingat kematian.

#4. Memantapkan Iman Kepada Hari Akhir

#5. Mentadabburi Ayat-Ayat Alloh Terkait Adab Neraka dan Surga.

Friday, December 20, 2013

Bagaimana hukum shalat berjamaah bagi wanita? berikut ulasannya.

Hukum Shalat Berjamaah BAGI WANITA
Bagaimana hukum shalat berjamaah bagi wanita? berikut ulasannya.

PADA artikel sebelumnya telah diterangkan tentang masalah wajibnya shalat berjamaah di masjid. Dalam keterangan tersebut, sekilas nampak bahwa shalat jamaah seakan-akan diwajibkan bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Padahal tidaklah demikian, karena di dalamnya terdapat beberapa perkecualian dan kekhususan.

Di antara kekhususan itu adalah tidak diwajibkannya shalat jamaah bagi wanita. Hal itu sesuai dengan Ijma(kesepakatan) ulama. Adapun dibolehkannya mereka ikut serta dalam shalat berjamaah, bukan berarti merupakan kewajiban bagi mereka sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah: Permasalahan wajib hadimya shalat berjamaah (di Masjid, peny.), tidak mengharuskan bagi wanita untuk menghadirinya. Dalam perkara ini tidak terdapat ikhtilaf di antara para ulama.

Imam Nawawi juga berkata: Berkata shahabat shahabat kami: Shalat berjamaah bukanlah fardlu ‘ain dan bukan pula fardlu kifayah pada haq wanita, tetapi hanya sunnah saja bagi mereka. Sebaliknya wanita dianjurkan untuk shalat di runahnya karena fadlilah (keutamaan)nya lebih besar dibandingkan dengan shalat berjamaah dj masjid. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda kepada para wanita:

Shalat salah seorang di antara kalian di makhda (kamar kecil yang berada di dalam rumah yang besar dan berguna untuk menjaga barang-barang mahal dan berharga) lebih~ utama daripada shalat di kamamnya. Shalat di kamamya lebih utama daripada shalat di rumahnya. Shalat di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid kaumnya dan shalat di masiid kaumnya lebih utama daripada mereka shalat bersamaku (masiidku). (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya; dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin AI-AIbani di dalam Jilbab Marah~Muslimah, hal. I55)

Mengomentari hadits di atas, Syaikh Albani hafidhahullah berkata: Hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim yang berbunyi: Shalat di masjidku lebih utama seribu shalat dibandingkan dengan shalat di masjid-masjid yang

lainnya. Hadits ini tidak menafikan bahwa shalat-shalat mereka (para wanita) di rumahnya lebih utama bagi mereka, sebagaimana tidak dinafikannya pula keutamaan shalat sunnah di rumah bagi laki-laki dibandingkan dengan jika dilakukan di masjid. Akan tetapi jika dia (laki-laki) shalat di salah satu masjid yang tiga (Mekah, Madinah dan Aqsha), maka mereka mendapat keutamaan-keutamaan dan kekhususan-kekhususan· Demikian pula halnya bagi wanita.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Shalat seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalar dikamarnya. Dan shalamya dimahdanya lebih utama daripada shalar di rumahnya. (HR. Abu Dawud, hadirs no. 566 dan berRarn SyaiWt Nashiruddin AI-Albnni di dalam Misykatul MasFabih hal. 1063: Sanadnya shahih atas syarat Muslim. Diriwayatkanpula oleh Imam Hakim dan berkata: Sanadnya atas syarat Bukhari dan Muslim dan Adz-Dzahabi menyetujuinya )

Beliau shallalahu alaihi wa sallam bersabda:

Sebaik-baik masjid bagi wanila adalah di dalam rumah-rumah mereka. (HR. Ahmad (6/301), Ibnu Khuraimah (3/92) dan Baihaqi (3A31~

Dari riwayat-riwayat di atas, para ulama mengambil istimbat hukum bahwa shalat wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid. Mustafa Al-Adawi di dalam kitab Ahkamu An-Nisa hal. 299, berkata -setelah memaparkan hadits-hadits ini: Hadits ini adalah tambahan dari sanad yang menjelaskan bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid. (lihat Shahih Ibnu Khwnimph (3/96) dan Sunan AI-Baihaqi Al-Kubra (3/ 132)). Beliau (Mustafa) menambahkan: Sesungguhnya hadits-hadits yang menunjukkan bahwa shalat wanita di rumahnya Lebih utama dari shalat mereka di masjid itu adalah shahih dengan terkumpulnya sanad-sanad hadits tersebut.

Imam Nawawi rahimahullah berkata: Shahabat-shahabat kami berkata: Shalat wanita di suatu tempat di dalam rumahnya yang lebih tertutup adalah lebih afdal, karena terdapat hadits dari Abdullah bin Masud radhjallahu mthu bahwasanya Rasulullah shaNaNahu alaihi wa sallam bersabda:

Shalat wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di kamamya dan shalat di mahdanya lebih utama daripada di rumahnya. (HR. Abu Dawud dnnsanadnya shahih atas syarat Muslim, lihat Synrh Muslim, 2/73)

Demikianlah perkataan Imam Nawawi rahimahullah yang menyatakan bahwa yang lebih afdlal bagi wanita adalah shalat di rumahnya dengan alasan lebih tertutup dan lebih aman dari fitnah. Masih banyak lagi paa ulama lainnya yang menyatakan demikian. Di antaranya Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah. Beliau berkata ketika men-syarah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud-: Shalat wanita di rumahnya, maksudnya karena kesempuinaan hijab. Dan keutamaan shalat di rumah bagi wanita karena di bangun atas dasar ini.

Beliau Obnul Qayyim) menjelaskan pula tentang lafadz riwayat Rumah mereka lebih utama bagi mereka. Maksudnya adalah shalat-shalat mereka (wanita) di rumahnya itu Lebih utama bagi mereka dibandingkan dengan shalatnya di masjid. jika mereka mengetahui yang demikian (pastilah mereka tidak meminta untuk keluar masjid). Akan tetapi karena mereka tidak mengetahuinya, maka mereka (shahabiyah) meminta izin untuk keluar ke masjid dengan berkeyakinan bahwa pahalanya lebih banyak daripada shalat di rumahnya. Keutamaan yang lain adalah aman dari fitnah, (hal itu) didukung dengan adanya perbuatan yang dilakukan para wanita (yakni tabarruj, ikhtilath [bercampurnya antara laki-laki dan perempuan], memakai wangi-wangian dan lain-lain).

Dalam hadits lain riwayat Ibnu Masud radhiyaIlahu anhu secara morfudisebutkan:

Sebaik-baik masjid bagi wanita adalah ruma rumah mereka. (HR Ahmad. 6/301, IbnuKhuzaimah 3/29, dan Baihaqi 3/131)

Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidl (baligh), kecuali jika ia memakai kerudung walaupun di dalam rumahnya dan tidak ada orang-orang asing (bukan mahram) yang melihatnya. Hal itu menunjukkan diperintahkan menutup aurat dari sudut syariat yang tidak diperintahkan kepada laki-laki. Yang demikian diwajibkan oleh Allah atas mereka, walaupun dia tidak dilihat oleh seorang pun. Allah berfirman:

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. (Al-Ahzab: 33)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Janganlah kalian mencegah hamba-hamba Allah (wanita) ke masiid, meskipun rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka. (HR Bukhari no. 900) Juga sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam (yang artinya): Shalat salah seorang di antara kalian (para wanita) di mahda-nya lebih utama daripada shalat di kamarnya. Shalat di kamarnya lebih utama daripada shalat di rumahnya Shalat di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid kaumnya dan shalat di masjid kaumnya lebih urama daripada shalat bersamaku (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya; dihasankan oleh SyaiRh Muhammad Nashiruddin Al-Albani di dalam Jilbab Marah Muslimah, hal. 155)

Imam Syaukani rahimahullah berkata: Shalat mereka (wanita) di rumahnya adalah lebih balk dan utama daripada shalat di masjid jika mereka mengetahui yang demikian. Akan tetapi, karena mereka tidak mengetahuinya, mereka meminta izin untuk keluar ber-

jamaah. Mereka berkeyakinan bahwa pahala shalat di masjid lebih banyak. Keutamaan yang lainnya adalah bahwa shalat-shalat mereka di rumahnya lebih aman dari fitnah. Yang menekankan demikian ini karena adanya pebuatan yang diadakan oleh wanita seperti tabarruj (berdandan) atau bersolek, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Aisyah radhiyallahu anha. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin hafidhahullah berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Rumah-rumah mereka lebih utama bagi mereka. Hadits ini memberikan pengertian bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata: Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah. Maka akan aku (syaikh Utsaimin) katakan: Sesungguhnya shalatmu di rumahmu itu lebih utama dan lebih baik. Hat itu dikarenakan seorang wanita akan terjauh dari ikhtilath bersama lelaki lain, sehingga akan dapat menjauhkannya dari fitnah. Dari keterangan di atas telah jelas bagi kita keutamaan shalat wanita di rumahnya. Walaupun begitu mungkin akan timbul dalam benak kita suatu pertanyaan: Manakah yang lebih utama, wanita shalat di rumahnya dengan berjamaah atau shalat sendiri. Dan apakah shalat jamaahnya akan mendapatkan seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (yakni lebih utama 27 derajat)? Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita melihat syarah hadits Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendiri dengan dunpuluh lima (dalam riwayar lain dengan duapuluh tujuh) derajat. Apakah hadits tersebut bersifat umum bagi laki-laki dan wanita?

Imam Ibnu Hajar Asqalani dalam Fathul Bari, juz 2 ha1.157, mengatakan tentang kekhususan keutamaan shalat berjamaah dengan membawakan keterangan para ulama yang mensyarah hadits tersebut. Seperti Ibnu Qattan dan para pensyarah lain yang dikomentari oleh At-Zain bin Al-Mundzir dan yang lain secara terperinci. Beliau (Ibnu Hajar) berkata: Sungguh aku menganggap benar pendapat mereka yang sesuai dengan keadaan shalat berjamaah dan menolak yang tidak dikhususkan bagi shalat berjamaaah seperti:

Memenuhi panggilan adzan.
Segera datang pada awal waktu.
Berjalan ke mesjid dengan tenang.
Masuk ke masjid dengan berdoa.
Shalat Tahiyatul masjid.
Menanti jamaah.
Shalawat dan doa malaikat baginya.
Persaksian malaikat baginya.
Memenuhi iqamah.
Keselamatan dari gangguan setan ketika setan lari dari suara iqamah.
Berdiri menunggu takbir pertama imam atau mengikuti semua perbuatan imam.
Mendapatkan takbiratul ihram.
Meratakan dan meluruskan shaf-shaf
Menjawab imam ketika mengucapkan sami’allahu liman hamidah.
Aman dari lupa secara dominan dan mengingatkan imam ketika lupa dengan bacaan tasbih.
Mendapatkan rasa khusyu dan selamat dari kesia-siaan.
Memperbaiki sikap.
Kerumunan malaikat di sisinya.
Memperbaiki tajwid bacaan Al-Quran.
Menampakkan syiar Islam.
21.Menimbulkan kemarahan setan dengan berkumpul dalam beribadah dan saling tolong-menolong dalam ketaatan dan sebagai penyemangat orang-orang yang malas.
Selamat dari sifat nifaq dan menghilangkan prasangka buruk dari yang lain karena meninggalkan shalat.
Menjawab salam imam.
24. Mengambil manfaat dengan berkumputnya doa mereka serta saling melengkapi.
25. Menegakkan aturan persatuan antar sesama jamaah dan mendapatkan perhatian mereka pada waktu shalat.
Ke-25 hal itu semua diperintahkan dan disemangatkan. (Farhul Barijuz 2 hal. 157) Dengan keterangan di atas dijelaskan bahwa semua hadits yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah adalah berkaitan dengan shalat jamaah di masjid dan tidak di rumah.

Oleh karena itu perlu dipertanyakan pernyataan Syaikh Musthafa Al-Adawi dan Abu Muhammad bin Hazm di bawah ini yang menyatakan bahwa hadits di atas menunjukkan keutamaan shalat jamaah mencakup laki-laki dan wanita.

Syaikh Musthafa al-Adawi berpendapat:
Shalat wanita dengan berjamaah di masjid lebih utama daripada shalatnya sendiri di masjid.
Shalat wanita dengan berjamaah di rumahnya lebih balk daripada shalat sendirian di rumahnya.
Beliau berkata: Kedua point di atas termuat dalam keumuman hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: Shalat jamaah itu lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat. Demikian pula dengan shalat jamaah wanita di rumahnya, sebagaimana terdapat dalam kisah Anas. Beliau (Anas) shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan di belakangnya terdapat wanita yang sudah tua. Juga telah tsabit (pasti) bahwa sebagian istri-istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat berjama ah di rumah mereka. Jika tidak terdapat suatu keutamaan, maka hal ini tidak akan dilaksanakan oleh para wanita (shahabiyah) di jaman Rasulullah shaNaNahu alaihi wa sallam.

Oleh karena itu harus kita katakan bahwa shalat wanita di rumahnya sendiri lebih utama dibandingkan dengan shalatnya di masjid secara berjamaah. Hal ini karena masuk dalam keumuman hadits Rasulullah shoIlallahu alaihi wa sallam: Shalat wanita di rumahnya lebih balk (utama) daripada sbalatnya di masjid. Adapun jika dia (wanita) keluar dari rumabnya ke rumah wanita lain untuk shalat bersamanya, maka hal ini -wallahu alam- lebih berkurang pahalanya daripada sbalatnya di masjid. Karena keluamya wanita sudah terwujudkan, sehingga tinggal keutamaan masjid dan menyaksikan kebaikan bersama kaum muslimin itu lebih utama daripada (shalat)di rnmab wanita yang lain. wallahu alam. Demikianlah keterangan dari Syaikh Musthafa Al-Adawi.

Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah berkata: Jika para wanita shalat dengan berjamaah dan mengimami salah satunya, maka hal ini adalah hasan (baik) karena tidak ada nash yang melarang dari perbuatan yang demikian itu. Dan tidak pula sebagian mereka memutus shalat sebagian yang tainnya disebabkan sabda Rasulnllah shallallahu alaihi wa sallam: Sebaik-baik shaf bagi wanita adatah yang paling akhir. Beliau (Ibnu Hazm) berkata pula: Shalat wanita dengan wanita yang lain, bahkan masuk ke dalam perkataan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam: Sesungguhnya shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan 27 derajat. Shalat mereka dengan berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian. Para ulama berselisih dalam masalah shalat

seorang wanita bersama wanita-wanita lain secara berjamaah. Ada yang mengatakan mustahab (sunnah) berdasarkan riwayat Aisyah dan Ummu Salamah. Yang berpendapat seperti ini adalah Atha, Ats-Tsauri, Auza i, Syafii, Ishaq dan Abu Tsaur. Ada yang mengatakan bukan sunnah seperti Imam Ahmad. Ada pula yang mengatakan makruh seperti Ashabur Rayi. Sedangkan Asy-Syabi, An-Nakhai dan Qatadah menyatakan bahwa hal ini (shalat berjamaah bagi wanita) dilakukan pada shalat sunnah bukan shalat wajib. Sulaiman bin Yasar mengatakan bahwa wanita tidak boleh mengimami pada shalat wajib maupun sunnah. Imam Malik mengatakan bahwa tidak pantas bagi wanita untuk mengimami seorang pun. Yang demikian karena dimakruhkan adzan baginya yaitu panggilan untuk shalat berjamaah, maka dimakruhkan pula baginya sesuatu yang dimaksudkan oleh adzan. (AI-Mughni, jilidt. ha1.17)

Syaikh Al-Albani mengomentari hadits Aisyah dan Ummu Salamah yang mengimami para wanita dalam shalat (hadits tersebut menurut beliau sanadnya shahih) dengan perkataan beliau sebagai berikut: Atsar-atsar ini baik untuk diamalkan, lebih-lebih jika dihubungkan dengan keumuman sabda Rasulullah bahwa para wanita itu serupa lelaki . Namun penyamaan ini dalam hal berjamaah bukan dalam keutamaan yang dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat. Kemudian tentang pernyataan AI-Adawi: Jika lidak terdapat suatu keutamaan, maka hal ini tidak akan dijalankan oleh para shahabiyah dijaman Rasulullah, masih perlu dipertanyakan. Karena tidak setiap perbuatan yang dilaksanakan oleh shahabiyah adalah sesuatu yang afdlal, bahkan terkadang mereka pun meninggalkan perkara yang afdlal. Hal ini terbukti denganjelas ketika para shahabiyah pergi ke mesjid untuk shalat berjamaah, padahal Rasulullah telah bersabda: Sebaik-baik mesjid bagi wanita adalah di dalam rumah-rumah mereka.

Dari keterangan-keterangan di atas, maka keutamaan dua puluh lima dan dua puluh tujuh derajat itu khusus untuk shalat jamaah yang dilakukan di masjid ,sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar: Bahkan yang paling jelas adalah bahwa derajat yang disebutkan itu khusus bagi jamaah di masjid (Fathul Bari, juz 2, hal. 159). Beliau juga menerangkan bahwa derajat itu diperoleh dengan dua puluh lima keunggulan yang telah disebutkan yang semua itu diambil dari hadits (artinya): DanAbuHuraairah radliyallahu anhu, ia berkata bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda: Shalat seseorangdengan berjama ah dilipatgandakan atas shalatnva di rumahnya dan dipasar dengan dua puluh lima lipat. Hal ini dia peroleh apabila ia berwudlu. lalu menyempurnakan wudlunya kemudian keluar menuju masiid. Tidak mengeluarkannya kecuali untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkahkan satu langkah, kecuali diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan dan tatkala dia shalat para malaikat terus menerus mengucapkan shalawat atasnya selama dia di tempat shalatya dengan doa: Ya Allah, berilah shalawat atasnya. rahmatilah dia. Terus-menerus salah seorang di antara kalian dalam keadaan shalat selama menunggu shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan keterangan-keterangan di atas, maka shalat jamaah wanita di rumahnya tidak termasuk dalam keutamaan itu (dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat), tetapi mereka mempunyai keutamaan tersendiri yaitu shalat seorang wanita di rumahnya dengan berjamaah atau tidak berjamaah lebih utama dari pada shalatnya di masjid. Wallahu a lam bishawab

Diperbolehkaonya Wanita Shalat Berjamash di Masjid dan Laraogan Mencegahnya

Keutamaan shalat wanita di dalam rumahnya sebagaimana telah dijelaskan di atas tidak menafikan bolehnya para wanita shalat berjamaah di masjid. Bahkan mengharuskan bagi wali atau suami untuk tidak melarang mereka jika hendak shalat berjamaah di masjid, tentunya dengan syarat.

Telah menjadi ijma (kesepakatan) para ulama bahwa Rasulullah shallallahu aiaihi wa sallam tidak mencegah sama sekali para wanita untuk shalat berjamaah di masjid bersama beliau sampai wafatnya. Demikian pula para khulafa Ar-Rasyidin sesudah beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Apabila salah satu wanita di antara kalian meminta izin ke masiid, maka janganlah kalian cegah mereka. (HR Murlim, 442 dan Nasai. 2/42; Musthafa al-Adawi menshahihkannya)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, RasuluIlah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah kalion melarang hamba (para wanita) Allah ke masjid-masjid Allah· (HR. Bukhari, no. 900) Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Janganlah kalian mencegah wanita-wanitn kalian ke masiid. Sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik untuk mereka.(HR. Abu Dawud; dishahihRan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Abu Dawud: 576 dan dalam Misykatul Mashabih: 1062)

Menyoroti hadits-hadits di atas, Imam Nawawi rahimahullah berkata: Hadits ini dan yang semisalnya (menjelaskan) dengan jelas sekali bahwa wanita tidak dilarang pergi ke masjid. Akan tetapi dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para ulama yang diambil dari hadits-hadits yaitu:

Tidak memakai wangi-wangian,
Tidak tabarruj, Tidak memakai gelang kaki yang dapat terdengar suaranya,
Tidak memakai baju yang mewah,
Tidak berikhtilat dengan kaum laki-laki dan bukan gadis yang dengannya dapat menimbulkan fitnah,
Tidak terdapat sesuatu yang dapat menimbulkan kenrsakan di jalan yang akan dilewati.
Adapun larangan tidak bolehnya wanita keluar ke masjid untuk shalat jamaah hukumnya makruh. Apabila dia sudah mempunyai suami atau tuan rumah dan terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan tadi, maka diperbolehkan. Namun jika dia belum/tidak mempunyai suami atau tuan, maka hal ini dilarang meskipun telah terpenuhi syarat-syarat di atas.

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: Tidak halal bagi wali perempuan dan tidak pula bagi tuan budak untuk mencegah wanita hadir shalat berjamaah di masjid, apabila diketahui bahwa mereka ingin melakukannya. Tidak halal bagi mereka (para wanita) untuk keluar dalam keadaan berwangi-wangian, berpakaian mewah (yang merangsang). Jika mereka melakukan yang demikian, maka laranglah.

Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan

surat Al-Ahzab ayat 33: dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.maksudnya adalah tetaplah kalian (wahai para wanita) di rumah-rumah kalian dan janganlah keluar, kecuali jika ada hajat (keperluan). Di antara hajat-hajat yang syari adalah shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana sabda Rasulullah shallallnhu alaihi wa sallam: Janganlah kalian mencegah hamba-hamba (para wanita) Allah ke masjid-masjid Allah dan hendaklah keluar dengan tanpa wangi-wangian. Dalam riwayat lain rumah mereka lebih baik bagi mereka.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin baaz berkata: Tidak diperbolehkan bagi sang suami untuk mencegah istrinya yang hendak ke masjid, namun shalatnya (istri) lebih utama di rumahmya. Wajib atasnya menjaga adab-adab Islam yaitu mengenakan pakaian yang menutupi auratya, menjauhi pakaian-pakaian yang mewah dan pakaian yang memperlihatkan auratnya karena sempit, tidak memakai wangi-wanglandan tidak ikhtilat dengan laki-laki lain pada shaf tapi di belakang shaf mereka. Sungguh telah ada wanita-wanita pada zaman RasuluIlah shallallahu alaihi wa sallam keluar ke masjid dengan mengenakan jilbab-jilbab dan shalat di belakang kaum laki-laki. Telah tsabit dari Rasulullah shallallahu alaihi wn sallam bahwasanya beliau bersabda:Janganlah kalian mencegah hamba-hamba (para wanita) Allah ke Masjid Allah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda pula: Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan.(Fatawa, 7/236) Inilah syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama yang disyariatkan kepada para wanita yang ingin ke baitullah laala. Syarat-syarat ini diambil dari hadits Rasulullah shnllallahu alaihi wa sallam, di antaranya:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Wanita mana saja yang memakai wamgi-wangian, maka janganlah menghadiri shalat Isya yang akhir bersama kami (H.R Muslim: 4/162, Abu Dawud 4175, Nasai: 7/153 dan Miskatul Mashabih: 106; berkata Abu Maryam di dalam AI-Manhiyyat Al- Usyri li An-Nisa :hadits Shahih)

Zainab Ats-Tsaqafiyah mengabarkan bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Apabila salah satu di antara kalian menghadiri shalat Isya : makajanganlah berwangi-wangian pada malam itu. (HR Muslim 3/163, Nasa i. 7/154 dan Baihaqi di dalam Sunannya AI-Kubra 3/133)

Di dalam riwayat yang lain:
Apabila salah satu di antara kalian, menghadiri masjid, maka janganlah mengenakan wangi-wangian.(HR Muslim: 4/163, Ibnu Khuzoimah 1680, dan Baihaqi 3/ 439)

Dari Abu Hurairah radhivallnhu anhu, is berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Wanita mana saja yang berwangi-wangian, kemudian keluar ke masjid, maka tidak diterima shalatya sampai ia mandi: Dalam riwayat lain: Apabila seorang wanita

keluar ke masjid, maka mandilah dari wangi-wangian sebagaimana mandinya dari junub. (HR. Abu Dawud: 4174, Ibnu Majah: 4002, Baihaqi: 3/133 dan di dalam Miskatul Mashabih: 1084; Berkata Abu Maryam Majdi: hadits hasan)

Dari hadits-hadits di atas, para ulama menetapkan syarat-syarat bagi wanita yang ingin shalat di masjid. Abu Maryam Majdi berkata: Pada hadits-hadits tersebut terdapat pengharamam berwangi-wangian bagi wanita yang ingin keluar ke masjid karena terdapat unsur penggerak dan pengundang syahwat kaum lakilaki.

Ibnu Daqig Al-Idd berkata: Disamakan dengan wangi-wangian sesuatu yang semakna dengannya, karena sebab larangannya adalah terdapat sesuatu yang menggerakkan dan mengundang syahwat seperti: pakaian yang mewah, dandanan yang tampak bekasnya dan gerak-gerik dengan kebanggaan.

Dari keterangan-keterangan di atas jelas dan terang bagi kita tentang bolehnya wanita pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat bejamaah tatkala sudah terpenuhi syarat-syaratriya,

Terakhir kali, kita kutip perkataan Musthafa Al Adawi yang menyatakan: Apabila wanita meminta izin pada malam atau siang hari diizinkan baginya. Namun jika fitnahnya lebih sedikit, maka pemberian izin diperbolehkan. Wallahu a’lam

Etika Amar Maruf Nahi Mungkar

Etika Amar Maruf Nahi Mungkar
Amar makruf nahi mungkar merupakan salah satu ciri khas agama yang hanif ini, karena dengan amar makruf nahi mungkar inilah umat ini bisa lurus jalannya, tanpa menegakkan amar makruf nahi mungkar bisa menyebabkan kemurkaan Allah taala, sebagaimana yang telah menimpa sebagian Bani Israil yang telah kafir. Tentu amar makruf nahi mungkar itu harus punya ketentuan, dan etika, yang perlu diperhatikan, sebab kalau tidak demikian pelaksanaannya akan bisa mengacaukan suasana, bukannya kemungkaran itu hilang atau kemaslahan timbul, akan tetapi yang timbul adalah kerusakan dan kemudaratan yang lebih banyak.

Oleh :Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimuhullah –
(diambil dari majmuk fatawa, jilid 14 hal : 479 – 483)
Alih Bahasa : Muhammad Elvi Syam. L.c.

Allah Taala yang Maha Tinggi dan Maha Besar berfirman:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiada orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk . ( Q.S: 5;105 ),

Ayat ini tidak bermakna larangan atau perintah untuk meninggalkan amar maruf (kebaikan) dan nahi mungkar (kejelekan), sebagaimana yang terdapat dalam hadits masyhur di Kutubus Sunan, dari Abi Bakr As-Shidiq, (Ia) berkhutbah di atas mimbar Rasulullah r dan berkata : Wahai manusia sesungguhnya kalian membaca ayat ini dan menerapkannya bukan pada tempatnya, sungguh saya telah mendengar Rasulullah r bersabda :
Artinya : Sesungguhnya manusia apabila melihat kemungkaran, kemudian tidak merubahnya, maka hampir-hampir Allah menimpakan azab dari-Nya kepada mereka semua. ( H.R. Ahmad di musnadnya dari Abi Bakr, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di kitab Shohih Al Jami , no: 1974, juz; 1/ 398.)

Dan demikian juga dalam hadits Abi Tsalabah Al-Khusyani yang marfu ( yang sampai ke Rasulullah ) dalam menafsirkan ayat ini :
Artinya : Apabila kamu melihat kebakhilan yang ditaati, dan hawa nafsu yang dituruti, dan setiap orang yang memiliki pendapat taajub dengan pendapatnya, maka uruslah (sibuklah) dengan kepentingan dirimu sendiri ( H.R. Tirmizi dari Abi Tsalabah Al Khusyani, no 3058 ).

Hadits ini ditafsirkan oleh hadits Abi Said di kitab Muslim :
Artinya : Barang siapa dari kalian melihat kemungkaran maka hendaklah dia merubah kemungkaran tersebut dengan tangannya , apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan lisannya, apabila tidak sanggup, (rubahlah) dengan hatinya, yang demikian adalah selemah-lemah keimanan . (H.R. Muslim dan lainnya dari Abi Said Al Khudri.)

Dan apabila ahli fujur ( pelaku maksiat ) kuat, sehingga mereka tidak lagi mau mendengarkan kebaikan, bahkan mereka menyakiti orang yang melarang kemungkaran, karena mereka itu telah dikuasai oleh rasa kikir dan hawa nafsu serta rasa sombong, maka pada keadaan seperti ini, merubah dengan lisanpun gugur dan yang tinggal merubah dengan hati .


(assyuhhu) adalah rasa sangat ambisi yang mengakibatkan kepada kebakhilan dan kezoliman, yaitu menolak kebaikan dan membencinya.
(alhawa al muttaba) hawa nafsu yang dituruti terwujud dalam keinginan terhadap keburukan dan mencintainya. (al ijab bir rayi) takjub (bangga) dengan pendapat sendiri yaitu (bangga) pada akal dan ilmu.

Maka (pada hadits di atas) Beliau r telah menyebutkan rusak tiga kekuatan yaitu : ilmu, cinta dan benci. Sebagaimana dalam hadits lain :
Artinya : Tiga hal yang mencelakakan; rasa kikir yang ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan rasa takjub seseorang dengan dirinya sendiri

dan di hadapan tiga hal yang mencelakakan ini, terdapat tiga hal yang menyelamatkan :

Artinya : Rasa takut kepada Allah dalam keadaan sunyi dan keramaian, dan sikap sederhana di waktu miskin dan kaya dan berkata benar di waktu marah dan ridho ( H.R. Tharoni di Mujam Ausath dari Anas dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani di kitab Shohih Al-Jami, no : 3039, juz ; 1/ 583 )

Itulah yang selalu dimohon Rasulullah r dalam doanya, seperti pada hadits lain :
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu rasa takutan akan diri-Mu di waktu sunyi dan keramaian, dan saya memohon kepada-Mu untuk (mampu) berkata benar di waktu marah dan ridho, dan saya memohon kepada-Mu untuk sikap sederhana di waktu miskin dan kaya ( H.R. Nasai dari Amar bin Yasir, no: 1304 dan dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di kitab Shohih Jami no : 1301, 1/279 ).

Maka rasa takut kapada Allah, lawan dari menuruti hawa nafsu, karena rasa takut mencegah perbuatan tersebut (menuruti hawa nafsu). Sebagaimana firman Allah :
Artinya : Dan adapun orang yang takut akan kedudukan Robnya, dan mencegah dirinya dari hawa nafsu .( Q.S. 79 ;40 )

Sikap sederhana di waktu miskin dan kaya, lawan dari rasa ambisi yang ditaati.
Berkata benar di waktu marah dan ridho, lawan dari rasa takjub (bangga) seseorang dengan dirinya.

Apa yang dikatakan oleh As-Shiddiq sangat jelas, karena sesungguhnya Allah berfirman : (aaikum anfusakum) artinya: pegang teguhlah dan sibuklah dengan diri kalian. Dan termasuk dalam kemashlahatan diri, mengerjakan apa yang diperintahkan kepadamu, baik perintah (yang harus dikerjakan) atau larangan (yang harus ditinggalkan). Dan berfirman :
Artinya : Orang yang sesat tidak akan membahayakanmu apabila kamu mendapat petunjuk (hidayat) ( Q.S. 5;105 ).

Hidayah itu akan terwujud, bila Allah ditaati dan kewajiban ditunaikan, baik berupa perintah atau larangan dan yang lainnya.


Di dalam ayat tersebut di atas, terdapat beberapa faidah yang agung:

Pertama : Hendaknya seorang mukmin tidak takut terhadap orang-orang kafir dan munafik, karena mereka itu tidak akan membahayakannya, selama dia telah mendapat petunjuk.

Kedua : Janganlah dia bersedih dan gelisah terhadap mereka, sebab kemaksiatan mereka tidak akan membahayakannya apabila dia telah mendapat petunjuk. Sebab bersedih terhadap apa yang tidak membahayakan merupakan hal yang sia-sia. Kedua makna ini disebutkan dalam firman Allah :
Artinya : Dan bersabarlah dan tiada kesabaranmu kecuali dengan Allah, dan janganlah kamu bersedih terhadap mereka dan janganlah kamu merasa sempit terhadap tipu daya yang mereka ( Q.S. 16;127 ).

Ketiga : Hendaknya seorang mukmin tidak cenderung kepada mereka dan tidak menujukan pandangannya (tertarik) kepada apa yang mereka miliki dari kekuasaan, harta dan syahwat, seperti firman Allah :
Artinya : Janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenimatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu ) dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka . (QS;15;88).

Maka Allah melarang Nabi Muhammad r untuk bersedih terhadap mereka dan mengharapkan apa yang mereka miliki di satu ayat , dan melarangnya untuk bersedih serta takut kepada mereka di ayat yang lain. Karena, kadang-kadang seseorang itu merasa sedih dan merasa takut kepada mereka, baik disebabkan karena rasa harap atau rasa cemas.

Keempat : Janganlah melampaui batas yang telah disyariatkan terhadap pelaku maksiat, dengan sikap berlebih-lebihan dalam membenci dan menghina, atau melarang dan menghajr ( mengisolir ) atau menghukumi mereka. Akan tetapi dikatakan kepada orang bersikap yang melampaui batas terhadap mereka itu, Uruslah dirimu sendiri, orang yang sesat tidak akan memudoratkanmu, selama kamu telah mendapat petunjuk. Sebagaimana firman Allah :
Artinya : Dan janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu …(Q.S: 5;8 ).

Dan firman Allah :
Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang melampaui batas (QS:2;190)

Dan firman Allah :
Artinya : Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu) maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS:2;193).

Maka sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang melakukan amar maruf nahi mungkar, kadang-kadang melampaui batas ketentuan-ketentuan Allah, mungkin disebabkan kebodohan dan mungkin pula disebabkan kezoliman. Permasalahan ini seseorang wajib tatsabbut ( selektif / berhati-hati ) baik dalam mengingkari orang-orang kafir, munafik, fasiq atau maksiat.

Kelima : Hendaklah dia melaksanakan amar maruf nahi mungkar dalam batas yang disyariatkan yaitu berilmu, lemah-lembut, sabar, dan niat yang baik serta menempuh jalan tengah (meletakkan sesuatu pada tempatnya). Karena hal tersebut masuk di dalam firman Allah (alaikum anfusakum) uruslah diri kamu dan di firman Allah (idza ihtadaitum) jika kamu mendapatkan petunjuk.

Lima point ini disimpulkan dari ayat di atas, bagi siapa yang diperintahkan untuk amar maruf dan nahi mungkar. Di dalam ayat tersebut juga terdapat makna yang lain, yaitu; perhatian seseorang terhadap mashlahat dirinya sendiri, dalam segi ilmu dan amal serta memalingkan dirinya dari hal yang tidak bermanfaat, sebagaimana yang dikatakan oleh sohibus-syariah ( Rasulullah r ):
Artinya : Merupakan baiknya islam seseorang meninggalkan apa yang tidak ia butuhkan ( H.R. Ahmad di Musnadnya dari Hasan bin Ali , dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani di Shohih Al Jami no: 5911, juz : 2/1027 ).

Apa lagi banyaknya hal yang tidak penting, yang tidak dibutuhkan oleh seseorang dari urusan agama orang lain dan dunianya, terutama apabila pembicaraan tersebut karena hasad dan kedudukan (kepemimpinan).

Begitu juga dalam beramal, mungkin orang yang melaksanakannya melampaui batas dan zolim, atau bodoh dan berbaut sia-sia. Alangkah banyaknya amalan yang digambarkan syeitan seakan-akan dia melakukan amar maruf dan nahi mungkar serta jihad di jalan Allah, padahal sebenarnya perbuatan tersebut merupakan kezoliman dan tindakkan yang berlebih-lebihan (melampaui batas).

Oleh karena itu, merenungkan ayat tersebut di dalam masalah ini, merupakan hal yang paling bermanfaat bagi seseorang. Apabila anda memperhatikan perselisihan yang terjadi di kalangan umat ini ; ulama, ahli ibadah, dan penguasa serta pemimpin mereka, anda akan menemukan, kebanyakan termasuk dalam jenis ini, yaitu: kezoliman yang disebabkan karena takwil atau bukan takwil. Seperti orang Jahmiyah, zolim terhadap ahli Sunnah dalam masalah sifat Allah dan Al quran ; seperti, bencana yang menimpa Imam Ahmad dan lainnya. Seperti Rafidhoh (syiah) selalu zolim terhadap ahli sunnah . Seperti Nashibah (orang membenci Ali) zolim terhadap Ali dan Ahli baitnya (keluarga dan keturunannya). Seperti Musyabbih (orang yang mengatakan sifat Allah seperti sifat makhluk) zolim terhadap munazzih (orang yang mensucikan Allah dari sifat yang serupa dengan sifat makhluk). Seperti sebagian Ahli sunnah kadang-kadang zolim, mungkin terhadap sebagian mereka, dan mungkin terhadap sejenis ahli bidah, dengan melebihi apa yang telah diperintah Allah, yaitu tindakan yang berlebih-lebihan, yang disebutkan dalam firman Allah :
Artinya : Ya Robb kami ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami.. (Q.S. 3 : 147).

Di samping sikap melampaui batas (tindakan yang berlebih-lebihan) ini, terdapat kelalaian yang dilakukan oleh yang lain terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka, dari kebenaran atau amar maruf dan nahi mungkar dalam seluruh aspek. Alangkah baiknya apa yang dikatakan sebagian salaf : Tidaklah Allah memerintahkan suatu urusan, kecuali syeitan menghalanginya dengan dua perkara : -dia tidak menghiraukan apapun dari dua perkara itu yang akan dilakukannya- ghulu (berlebih-lebihan) dan takshir (kelalaian).

Maka orang yang membantu dalam perbuatan dosa dan permusuhan sama dengan orang yang tidak membantu dalam perbuatan baik dan takwa. Orang yang melakukan yang diperintahkan dan melebihi (apa yang diperintahkan padahal itu) dilarang, sama dengan orang yang meninggalkan yang dilarang dan sebagian yang diperintahkan.

Semoga Allah menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Tiada upuya dan kekuatan kecuali dengan Allah.

Hak-Hak Istri dalam Poligami

Hak-Hak Istri dalam Poligami
Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri, sebagaimana pada ayat yang artinya:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para istri, sebagaimana pada ayat yang artinya:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Berlaku adil dalam bermuamalah dengan istri-istrinya, yaitu dengan memberikan kepada masing-masing istri hak-haknya. Adil disini lawan dari curang, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat diartikan persamaan. Berdasarkan hal ini maka adil antar para istri adalah menyamakan hak yang ada pada para istri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk disamakan di dalamnya.

Adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan haknya.
Apa saja hak seorang istri di dalam poligami?

Diantara hak setiap istri dalam poligami adalah sebagai berikut:

A. Memiliki rumah sendiri

Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 33, yang artinya, “Menetaplah kalian (wahai istri-istri Nabi) di rumah-rumah kalian.” Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan rumah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau tidak hanya satu.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu 'Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sakit menjelang wafatnya, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya, “Dimana aku besok? Di rumah siapa?’ Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menginginkan di tempat Aisyah Radhiyallahu 'Anha, oleh karena itu istri-istri beliau mengizinkan beliau untuk dirawat di mana saja beliau menginginkannya, maka beliau dirawat di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisi Aisyah. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam meninggal di hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruh beliau dalam keadaan kepada beliau bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu 'Anha.

Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya tidak pantas seorang suami mengumpulkan dua orang istri dalam satu rumah tanpa ridha dari keduanya. Hal ini dikarenakan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan permusuhan di antara keduanya. Masing-masing istri dimungkinkan untuk mendengar desahan suami yang sedang menggauli istrinya, atau bahkan melihatnya. Namun jika para istri ridha apabila mereka dikumpulkan dalam satu rumah, maka tidaklah mereka. Bahkan jika keduanya ridha jika suami mereka tidur diantara kedua istrinya dalam satu selimut tidak mengapa. Namun seorang suami tidaklah boleh menggauli istri yang satu di hadapan istri yang lainnya meskipun ada keridhaan diantara keduanya.

Tidak boleh mengumpulkan para istri dalam satu rumah kecuali dengan ridha mereka juga merupakan pendapat dari Imam Qurthubi di dalam tafsirnya dan Imam Nawawi dalam Al Majmu Syarh Muhadzdzab.


B. Menyamakan para istri dalam masalah giliran

Setiap istri harus mendapat jatah giliran yang sama. Imam Muslim meriwayatkan hadits yang artinya Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memiliki 9 istri. Kebiasaan beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila menggilir istri-istrinya, beliau mengunjungi semua istrinya dan baru behenti (berakhir) di rumah istri yang mendapat giliran saat itu.

Ketika dalam bepergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang istrinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta dalam perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sertakan dalam safarnya. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam biasa menggilir setiap istrinya pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah karena jatahnya telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha.

Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk masuk ke rumah semua istrinya pada hari giliran salah seorang dari mereka, namun suami tidak boleh menggauli istri yang bukan waktu gilirannya.

Seorang istri yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat jatah giliran sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu 'Anha menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ingin bermesraan dengan istrinya namun saat itu istri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sedang haid, beliau memerintahkan untuk menutupi bagian sekitar kemaluannya.

Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah, ulama besar dari Saudi Arabia, pernah ditanya apakah seorang istri yang haid atau nifas berhak mendapat pembagian giliran atau tidak. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa pendapat yang benar adalah bagi istri yang haid berhak mendapat giliran dan bagi istri yang sedang nifas tidak berhak mendapat giliran. Karena itulah yang berlaku dalam adat kebiasaan dan kebanyakan wanita di saat nifas sangat senang bila tidak mendapat giliran dari suaminya.


C. Tidak boleh keluar dari rumah istri yang mendapat giliran menuju rumah yang lain

Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah istri yang lain yang bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah Radhiyallahu 'Anha, tidak lama setelah beliau berbaring, beliau bangkit dan keluar rumah menuju kuburan Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu 'Anha kemudian mengikuti beliau karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah istri yang lain. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan Aisyah Radhiyallahu 'Anha dalam keadaan terengah-engah, beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bertanya kepada Aisyah Radhiyallahu 'Anha, “Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil kepadamu?”

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak dibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si istri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah istri yang bukan gilirannya tersebut, maka dia harus mengganti hak istri yang gilirannya diambil malam itu. Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.

Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’dy rahimahullah pernah ditanya tentang hukum menginap di rumah salah satu dari istrinya yang tidak pada waktu gilirannya.

Beliau rahimahullah menjawab bahwa dalam hal tersebut dikembalikan kepada ‘urf, yaitu kebiasaan yang dianggap wajar oleh daerah setempat. Jika mendatangi salah satu istri tidak pada waktu gilirannya, baik waktu siang atau malam tidak dianggap suatu kezaliman dan ketidakadilan, maka hal tersebut tidak apa-apa. Dalam hal tersebut, urf sebagai penentu karena masalah tersebut tidak ada dalilnya.


D. Batasan Malam Pertama Setelah Pernikahan

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'Anhu bahwa termasuk sunnah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh hari, jika menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari. Setelah itu barulah ia menggilir istri-istri yang lain.

Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa Ummu Salamah Radhiyallahu 'Anha mengkhabarkan bahwa ketika Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menikahinya, beliau menginap bersamanya selama tiga hari dan beliau bersabda kepada Ummu Salamah, “Hal ini aku lakukan bukan sebagai penghinaan kepada keluargamu. Bila memang engkau mau, aku akan menginap bersamamu selama tujuh hari, namun aku pun akan menggilir istri-istriku yang lain selama tujuh hari.”


E. Wajib menyamakan nafkah

Setiap istri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila istri-istri tersebut ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keridhaan mereka maka tidak apa-apa.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami.

Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu 'Anhu mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada istri-istri beliau segenggam-segenggam.

Bahkan ada keterangan yang dibawakan oleh Jarir bahwa ada seseorang yang berpoligami menyamakan nafkah untuk istri-istrinya sampai-sampai makanan atau gandum yang tidak bisa ditakar / ditimbang karena terlalu sedikit, beliau tetap membaginya tangan pertangan.


F. Undian ketika safar
Bila seorang suami hendak melakukan safar dan tidak membawa semua istrinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan siapa yang akan menyertainya dalam safar tersebut.

Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan bahwa kebiasaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bila hendak safar, beliau mengundi di antara para istrinya, siapa yang akan diajak dalam safar tersebut.

Imam Ibnu Qudamah menyatakan bahwa seoarang yang safar dan membawa semua istrinya atau menginggalkan semua istrinya, maka tidak memerlukan undian.

Jika suami membawa lebih dari satu istrinya, maka ia harus menyamakan giliran sebagaimana ia menyamakan diantara mereka ketika tidak dalam keadaan safar.


G. Tidak wajib menyamakan cinta dan jima’ di antara para istri

Seorang suami tidak dibebankan kewajiban untuk menyamakan cinta dan jima’ di antara para istrinya. Yang wajib bagi dia memberikan giliran kepada istri-istrinya secara adil.

Ayat “Dan kamu sekali-kali tiadak dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin demikian” ditafsirkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah bahwa manusia tidak akan sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada perbedaan dalam rasa cinta, syahwat, dan jima’.

Ayat ini turun pada Aisyah Radhiyallahu 'Anha. Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam sangat mencintainya melebihi istri-istri yang lain. Beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata, “Ya Allah inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah engkaucela aku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki, yaitu hati.”

Muhammad bin Sirrin pernah menanyakan ayat tersebut kepada Ubaidah, dan dijawab bahwa maksud surat An Nisaa’ ayat 29 tersebut dalam masalah cinta dan bersetubuh. Abu Bakar bin Arabiy menyatakan bahwa adil dalam masalah cinta diluar kesanggupan seseorang. Cinta merupakan anugerah dari Allah dan berada dalam tangan-Nya, begitu juga dengan bersetubuh, terkadang bergairah dengan istri yang satu namun terkadang tidak. Hal ini diperbolehkan asal bukan disengaja, sebab berada diluar kemampuan seseorang.

Ibnul Qoyyim rahimahullah menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan cinta diantara istri-istrinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat dikuasai. Aisyah Radhiyallahu 'Anha merupakan istri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para istri dalam masalah jima’ karena jima’ terjadi karena adanya cinta dan kecondongan. Dan perkara cinta berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala, Zat yang membolak-balikkan hati. Jika seorang suami meninggalkan jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut dimaafkan. Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, bila dimungkinkan untuk menyamakan dalam masalah jima, maka hal tersebut lebih baik, utama, dan lebih mendekati sikap adil.

Penulis Fiqh Sunnah menyarankan; meskipun demikian, hendaknya seoarang suami memenuhi kebutuhan jima istrinya sesuai kadar kemampuannya.

Imam al Jashshaash rahimahullah dalam Ahkam Al Qur’an menyatakan bahwa, “Dijadikan sebagian hak istri adalah menyembunyikan perasaan lebih mencintai salah satu istri terhadap istri yang lain.”


Saran

Seorang suami yang hendak melakukan poligami hendaknya melihat kemampuan pada dirinya sendiri, jangan sampai pahala yang dinginkan ketika melakukan poligami malah berbalik dengan dosa dan kerugian. Dalam sebuah hadits disebutkan (yang artinya) “Barangsiapa yang mempunyai dua istri, lalu ia lebih condong kepada salah satunya dibandingkan dengan yang lain, maka pada hari Kiamat akan datang dalam keadaan salah satu pundaknya lumpuh miring sebelah.” (HR. Lima)

Allahu A’lam; Semoga bermanfaat

Wednesday, December 18, 2013

WASIAT MENURUT PANDANGAN ISLAM



 WASIAT MENURUT PANDANGAN ISLAM

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْراً الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِينَ , فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَ مَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ , فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفاً أَوْ إِثْماً فَأَصْلَحَ بَيْنَهُمْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (QS. 2:180) Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui. (QS. 2:181) (Akan tetapi) barangsiapa khawatir ter-hadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang. (QS. 2:182)

Ayat ini mengandung perintah memberikan wasiat kepada kedua orang tua dan kaum kerabat. Menurut pendapat yang lebih kuat, pemberian wasiat itu merupakan suatu hal yang wajib sebelum turunnya ayat mengenai mawaris (pembagian harta warisan). Dan ketika turun ayat fara'idh, ayat washiyat itu dinasakh, dan pembagian warisan yang ditentukan menjadi suatu hal yang wajib dari Allah Ta'ala yang harus diberikan kepada ahli waris, tanpa perlu adanya wasiat serta tidak mengandung kemurahan dari orang yang berwasiat. Oleh karena itu, disebutkan hadits yang terdapat dalam kitab as-Sunan dan lainnya, dari Amr bin Kharijah, katanya, aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah, dan beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كَلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلاَ وَصِيَّةِ لِوَارِثٍ.

"Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris."

Imam Ahmad meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, katanya, ketika Ibnu Abbas duduk dan membaca surat al-Baqarah hingga sampai ayat ini, Î إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْربِينَ Ï "Jika ia meninggalkan harta yang banyak, ber-wasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya," ia pun mengatakan, "Ayat ini sudah dinasakh."

Hadits di atas juga diriwayatkan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak, dan menurutnya shahih sesuai persyaratan al-Bukhari dan Muslim.

Dan mengenai firman-Nya, Î الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ Ï "Berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya," Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, "Pada mulanya tidak ada yang memperoleh warisan dengan adanya ibu-bapak kecuali ia berwasiat kepada kaum kerabat. Kemudian Allah Ta'ala menurunkan ayat tentang mawaris, di dalamnya diterangkan bagian kedua orang tua dan ditetapkan wasiat untuk karib kerabat dengan sepertiga harta si mayit."

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat:

Î الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَاْلأَقْرَبِينَ Ï "Berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya," ini telah dinasakh dengan ayat:

Ï لِّلرِّجَـالِ نَصِيبُُ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَـآءِ نَصِيبُُ مِّمَّا تَرَكَ الْوَالِـدَانِ وَاْلأَقْرَبُـونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُـرَ نَصِيبًا مَّفْرُوضًـا  Î

"Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat-nya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (QS. An-Nisaa': 7)

Mengenai hal tersebut di atas, penulis (Ibnu Katsir) katakan, "Kewajiban berwasiat kepada ibu bapak dan juga karib kerabat yang termasuk ahli waris itu menurut ijma' telah dinasakh, bahkan dilarang." Hal itu didasarkan pada hadits:

إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطـىَ كَلَّ ذِيٍ حَقٍّ حَقَّهُ، فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ.

"Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap yang berhak, maka tiada wasiat bagi ahli waris."

Dengan demikian, ayat mawaris merupakan hukum yang independen dan kewajiban dari sisi Allah bagi ashhabul furudh (ahli waris yang mendapat bagian tertentu) dan juga ashabah (ahli waris yang menerima sisa bagian dari ashhabul furudh), dengan ayat ini hukum wasiat terhapus secara total. Dengan demikian yang tertinggi adalah kaum kerabat yang tidak berhak memperoleh warisan. Disunnahkan kepada seseorang untuk berwasiat bagi mereka dari sepertiga hartanya sebagai respon atas ayat wasiat dan keumumannya. Selain itu, diriwayatkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا حَقُّ امْرِىءٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْئٌ يُوصِى فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ، إِلاَّ وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوْبَةٌ عِنْدَهُ.

"Tidak dibenarkan bagi seseorang muslim yang memiliki sesuatu untuk di-wasiatkan berdiam diri selama dua malam, melainkan wasiat itu telah tertulis di sisinya." (Muttafaq 'alaih).

Ibnu Umar menuturkan, "Tidak ada satu malam pun yang berlalu dariku sejak aku mendengar Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan hal itu melainkan wasiatku berada di sisiku."

Dan firman-Nya, Î إِن تَرَكَ خَيْرًا Ï "Jika ia meniggalkan harta yang banyak." Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wasiat itu disyari'atkan, baik harta warisan itu sedikit maupun banyak seperti halnya warisan. Tetapi di antara mereka ada juga yang berpendapat, bahwa wasiat itu hanya dilakukan bila seseorang meninggalkan harta yang banyak.

Firman-Nya lebih lanjut, Î بِالْمَعْرُوفِ Ï "Dengan cara yang baik." Artinya dengan lemah lembut dan baik. Dan yang dimaksud dengan makruf adalah hendaklah seseorang berwasiat kepada kaum kerabat tanpa menghancurkan (masa depan) ahli warisnya; tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir. Sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim, bahwa Sa'ad pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhya aku mempunyai harta kekayaan (yang cukup banyak) dan tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang puteriku, apakah aku boleh mewasiatkan dua pertiga hartaku?" "Tidak", jawab Rasulullah. "Apakah setengahnya?" tanyanya lebih lanjut. Beliau menjawab, "Tidak." Ia bertanya lagi, "Apakah sepertiga?" Beliau menjawab, "Ya, sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada orang lain."

Sedangkan dalam kitab Shahih al-Bukhari diriwayatkan, bahwa Ibnu Abbas berkata, "Seandainya orang-orang mengurangi(nya) dari sepertiga menjadi seperempat itu sudah cukup karena sesungguhnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, "Sepertiga, dan sepertiga itu banyak."

Dan firman-Nya, Î فَمَن بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَآ إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ Ï "Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguh-nya Allah Mahamendengar lagi Mahamengetahui." Artinya, barangsiapa me-nyelewengkan wasiat itu dan menyimpangkannya, lalu mengubah ketetapannya dengan menambah dan mengurangi, tentu saja termasuk dalam hal ini adalah menyembunyikannya. Î فَإِنَّمَآ إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ Ï "Maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." Ibnu Abbas dan beberapa ulama lainnya mengemukakan, "Pahala si mayit itu berada di sisi Allah, sedangkan dosanya (mengubah wasiat) bergantung pada orang-orang yang mengubahnya." Î إِنَّ اللهَ سَمِيـعٌ عَلِيـمٌ Ï "Sesungguhnya Allah Mahamendengar lagi Maha-mengetahui." Artinya, Allah Ta'ala mengawasi apa yang diwasiatkan si mayit, dan Dia mengetahui hal itu serta perubahan yang dilakukan oleh penerima wasiat.

Firman Allah berikutnya, Î فَمَنْ خَافَ مِن مُّوصٍ جَنَفًا أَوْ إِثْمًا Ï "(Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu berlaku berat sebelah (tidak adil) atau berbuat dosa." Ibnu Abbas mengatakan, janaf  berarti kesalahan, ini mencakup segala macam kesalahan. Misalnya, mereka menambah seorang ahli waris dengan memakai perantara atau sarana, seperti misalnya jika seseorang berwasiat supaya menjual sesuatu barang tertentu karena pilih kasih. Atau seseorang berwasiat untuk anak dari puterinya agar bagian puterinya bertambah atau cara-cara lainnya yang semisal, baik karena keliru tanpa disengaja, tetapi karena naluri dan amat sayang yang tanpa disadari, atau karena disengaja berbuat dosa. Dalam keadaan seperti itu, orang yang diserahi wasiat boleh memperbaiki permasalahan ini dan melakukan perubahan dalam wasiat itu sesuai dengan aturan syari'at, serta melakukan perubahan wasiat yang disampaikan si mayit itu kepada wasiat yang lebih mendekati yang sesuai untuk memadukan antara maksud pemberi wasiat dan cara yang syar'i. Perbaikan dan pemaduan ini sama sekali bukanlah disebut perubahan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ , أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa. (QS. 2:183) (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. 2:184)

Allah Ta'ala menyerukan kepada orang-orang yang beriman dari umat ini dan memerintahkan mereka untuk berpuasa. Puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh, dengan niat yang tulus karena Allah Ta'ala, karena puasa mengandung penyucian, pembersihan, dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan akhlak tercela.

Allah Ta'ala juga menyebutkan, sebagaimana Dia telah mewajibkan puasa itu kepada mereka, Dia juga telah mewajibkannya kepada orang-orang sebelum mereka, karena itu ada bagi mereka dalam hal ini suri teladan. Maka hendaklah mereka bersungguh-sungguh dalam menjalankan kewajiban ini dengan lebih sempurna daripada yang telah dijalankan oleh orang-orang sebelum mereka. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

Ï لِـكُّلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِـرْعَةً وَ مِنْهَاجًـا وَلَوْ شَآءَ اللهُ لَجَـعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِـدَةً وَ لَكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِـي مَـآءَ اتَاكُمْ فَاسْـتَبِقُوا الْخَيْـرَاتِ  Î

"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak mengujimu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan." (QS. Al-Maaidah: 48)

Oleh karena itu dalam surat al-Baqarah ini, Allah berfirman:

Î يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَ امَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ Ï "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajib-kan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa." Karena puasa dapat menyucikan badan dan mempersempit jalan syaitan, maka dalam hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Muslim ditegaskan, bahwasanya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَا مَعْشَـرَ الشَّبَابِ مَنِ السْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَ مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَأِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah maka hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa karena puasa merupakan penawar baginya."

Setelah itu Allah menjelaskan waktu puasa. Puasa itu tidak dilakukan setiap hari supaya jiwa manusia ini tidak merasa keberatan sehingga lemah dalam menanggungnya dan menunaikannya. Tetapi puasa itu diwajibkan hanya pada hari-hari tertentu saja.

Pada permulaan Islam, puasa itu dilakukan tiga hari sekali pada setiap bulan. Kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan puasa satu bulan penuh, yaitu bulan Ramadhan, sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut.

Diriwayatkan dari Mu'adz, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Atha', Qatadah, dan adh-Dhahhak bin Muzahim, bahwa puasa itu pertama kali dijalankan seperti yang diwajibkan kepada umat-umat sebelumnya, yaitu tiga hari setiap bulannya. Ditambahkan oleh adh-Dhahhak, bahwa pelaksanaan puasa seperti ini masih tetap disyari'atkan pada permulaan Islam sejak Nabi Nuh u sampai Allah Ta'ala manasakhnya dengan puasa Ramadhan.

Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan, dari Ibnu Umar, katanya; diturunkannya ayat, Î كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّـيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُـمْ Ï "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu," puasa itu diwajibkan kepada mereka, jika salah seorang di antara mereka mengerjakan shalat isya' kemudian tidur, diharamkan baginya makan, minum, dan (menyetubuhi) istrinya sampai waktu malam lagi seperti itu.

Kata Ibnu Abi Hatim, hal senada juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas,

Abu al-Aliyah, Abdur Rahman bin Abi Laila, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Muqatil bin Hayyan, Rabi' bin Anas, dan Atha' al-Khurasani.

Mengenai firman-Nya, Î كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ Ï "Sebagaimana diwajib-kan atas orang-orang sebelummu," Atha' al-Khurasani meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, "Yang dimaksudkan dengan hal itu adalah Ahlul Kitab."

Selanjutnya Allah Ta’ala menjelaskan hukum puasa sebagaimana yang berlaku pada permulaan Islam. Dia berfirman,

Î فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ Ï "Barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu dari hari-hari yang lain." Artinya, orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan diperbolehkan untuk tidak berpuasa, karena hal itu merupakan kesulitan bagi mereka, boleh mereka tidak berpuasa tetapi mengqadhanya pada hari-hari yang lain. Adapun orang yang sehat dan tidak berpergian tetapi merasa berat berpuasa, baginya ada dua pilihan; berpuasa atau memberikan makan. Jika mau, ia boleh berpuasa, atau boleh juga berbuka, tetapi harus memberi makan kepada seorang miskin setiap harinya. Dan jika ia memberikan makan lebih dari seorang pada setiap harinya, maka yang demikian itu lebih baik. Dan berpuasa adalah lebih baik daripada memberi makan. Demikian menurut pendapat Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan, dan ulama salaf lainnya. Oleh karena itu, Allah Ta'ala berfirman,

Ïوَعَلَـى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِيـنٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْـرًا فَهُوَ خَيْرُُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُنَ Î

"Dan wajib bagi orang-orang yang merasa berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka yang demikian itu lebih baik baginya. Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."

Demikian pula yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, dari Salamah bin Akwa katanya, ketika turun ayat, Î وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ Ï "Dan bagi orang-orang yang merasa berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Ketika itu, bagi siapa yang hendak berbuka (tidak berpuasa), maka membayar fidyah, hingga turun ayat yang berikutnya dan manasakhnya.

Dan diriwayatkan dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa hal tersebut sudah dinasakh.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Atha', bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas membaca ayat, Î وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ Ï "Dan bagi orang-orang yang merasa berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Kata Ibnu Abbas, "Ayat tersebut tidak dinasakh, karena yang dimaksudkan dalam ayat itu adalah orang tua laki-laki dan perempuan yang tidak mampu menjalankan ibadah puasa, maka ia harus memberikan makan setiap harinya seorang miskin." Demikian pula diriwayatkan oleh beberapa periwayat dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas.

Kesimpulannya, bahwa nasakh itu tetap berlaku bagi orang sehat yang bermukim (tidak melakukan perjalanan) dengan kewajiban berpuasa baginya melalui ayat, Î فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ Ï "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa." Sedangkan orang tua renta yang tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, maka diperbolehkan baginya berbuka (tidak berpuasa) dan tidak perlu mengqadhanya, karena ia tidak akan mengalami lagi keadaan yang memungkinkannya untuk mengqadha puasa yang ditinggalkannya itu. Tetapi, apakah jika ia berbuka (tidak berpuasa) juga berkewajiban memberi makan setiap hari seorang miskin, jika ia kaya?

Mengenai hal tersebut di atas terdapat dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan tidak ada kewajiban baginya memberikan makan kepada orang miskin, karena usianya ia tidak sanggup memenuhinya, sehingga ia tidak diwajibkan membayar fidyah, seperti halnya bayi, karena Allah Ta'ala tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ini merupakan salah satu pendapat Imam Syafi'i.

Sedangkan pendapat kedua dan merupakan pendapat yang shahih dan yang menjadi pegangan mayoritas ulama, bahwa wajib baginya membayar fidyah untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya. Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas dan beberapa ulama salaf lainnya. Pendapat ini menjadi pilihan Imam al-Bukhari, di mana ia mengatakan, mengenai orang yang sudah tua jika ia tidak mampu menjalankan puasa, maka membayar fidyah. Karena Anas ketika telah tua pernah setahun atau dua tahun ia tidak berpuasa dan memberi makan roti dan daging kepada seseorang miskin setiap hari. Atsar mu'allaq yang diriwayatkan al-Bukhari telah disebutkan sanadnya oleh al-Hafiz Abu Ya'la al-Mushili dalam musnadnya, dari Ayub bin Abu Tamimah, katanya, "Anas tidak sanggup menjalankan ibadah puasa, lalu ia membuatkan bubur roti satu mangkok besar, kemudian mengundang tiga puluh orang miskin dan memberinya makan." Dan diriwayatkan seperti itu oleh Abd bin Humaid, dari Ayub. Senada dengan hal ini diriwayatkan pula oleh Abd dari enam sahabat Anas, dari Anas.

Termasuk dalam pengertian ini adalah wanita hamil dan yang me-nyusui jika keduanya mengkhawatirkan keselamatan diri dan anak mereka. Dalam masalah ini terdapat banyak perbedaan pendapat di antara para ulama. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa keduanya (wanita hamil dan yang menyusui) boleh tidak berpuasa, tetapi membayar fidyah dan mengqadha puasanya. Dan ada pula yang mengatakan wajib membayar fidyah saja dan tidak perlu mengqadha.

Ada juga yang berpendapat, wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui itu berkewajiban mengqadha puasa yang ditinggalkannya tanpa membayar fidyah. Tetapi ada juga yang berpendapat kedua wanita itu boleh berbuka dengan tanpa membayar fidyah dan tidak juga mengqadhanya.

Alhamdulillah, masalah ini telah kami uraikan secara panjang lebar dalam kitab Shiyam yang kami tulis secara khusus.

Sumber: Diadaptasi dari Tafsir Ibnu Katsir, penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad bin Ishak Ali As-Syeikh, penterjemah Ust. Farid Ahmad Okbah, MA, dkk. (Pustaka Imam As-Syafi'i)