PROFESIONALISME
GURU DALAM DUNIA KEILMUAN ISLAM
- A. Pendahuluan
Dalam dunia keilmuan Islam,
pendidikan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia, karena dengan
pendidikanlah manusia akan bisa eksis dan berjaya di muka bumi ini.
Sebagai suatu system, pendidikan memiliki sejumlah komponen yang saling
berkaitan antara yang satu dan lainnya untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan[1]. Komponen pendidikan tersebut antara lain
komponen kurikulum, guru, metode, sarana prasarana, dan evaluasi. Selanjutnya,
dari sekian komponen pendidikan tersebut, guru merupakan komponen pendidikan
terpenting, terutama dalam mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan peningkatan mutu pendidikan.
Melalui tindakan-tindakan guru ini,
nasib pendidikan kita bergantung kepadanya. Sementara itu, diketahui bahwa
dewasa ini tugas guru semakin terasa berat. Hal ini terjadi antara lain karena
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta perubahan cara pandang
dan pola hidup masyarakat yang menghendaki strategi dan pendekatan dalam proses
belajar mengajar yang berbeda-beda, di samping materi pengajaran itu sendiri.
Dengan keadaan perkembangan
masyarakat yang sedemikian itu, maka mendidik merupakan tugas berat dan
memerlukan seseorang yang cukup memiliki kemampuan yang sesuai dengan jabatan
tersebut. Mendidik adalah pekerjaan professional yang tidak dapat diserahkan
kepada sembarang orang, karena hal ini akan memberikan pengaruh yang cukup
signifikan terhadap pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dalam
kehidupannya, begitu juga terhadap lembaga pendidikan di mana ia mengabdikan
dirinya untuk profesi yang diembannya.
Profesionalitas seorang guru
berkaitan dengan upaya penyiapan peserta didik menjadi manusia yang ulul
albab yang nantinya diharapkan bisa mengangkat dunia keilmuan Islam yang
selama ini “mandeg” merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi dan
harus segera dimiliki oleh setiap guru muslim agar tercipta suatu tatatan dunia
keilmuan Islam yang maju dan dapat mempengaruhi terhadap semua bangsa seperti
pada masa kejayaan Islam dahulu kala.
Untuk mewujudkan profesionalisme
dalam pribadi seorang guru tidaklah mudah, karena hal tersebut memerlukan proses
yang cukup panjang dan biaya yang cukup banyak. Disamping itu, diperlukan pula
penyadaran akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai calling profesio yang
harus terus dibina agar supaya apa yang menjadi harapan dan cita-cita dari
masyarakat terhadap hasil pembelajarannya yang dilakukan bersama muridnya dapat
tercapai, sehingga tercipta kualitas dan mutu out put yang bisa
dipertanggung jawabkan secara intelektual, memiliki keterampilan yang tinggi
dan memiliki akhlaqul karimah yang mapan.
- B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan pentingnya
profesionalisme guru dalam penyiapan out put yang memiliki kualitas dan
mutu yang dapat dipertanggung jawabkan, yang berimplikasi pada terangkatnya
dunia keilmuan Islam, maka dalam penulisan makalah ini, penulis memfokuskan
kepada dua masalah, yaitu :
- Apa yang menjadi problematika bagi guru guna mewujudkan profesionalisme keguruannya dalam menciptakan mutu lulusan yang baik ?
- Bagaimana telah epistemologis dalam mengatasi problematika guru menuju profesionalisme kinerja yang baik, yang dapat mengangkat dunia keilmuan Islam ?
- C. Konsep Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu sebagai salah satu
cabang ilmu filsafat bukan sekedar metode penelitian atau cara penulisan karya
ilmiah, melainkan merupakan dasar dan arah pengembangan ilmu pengetahuan yang
terus menerus berupaya tanpa mengenal titik henti mencari kebenaran / kenyataan
(an unfinished journey). Di sisi lain Koento Wibisono menyatakan, bahwa
filsafat ilmu adalah refleksi filsafati yang tidak pernah mengenal titik henti
dalam menjelajah kawasan ilmiah untuk mencapai kebenaran atau kenyataan,
sesuatu yang memang tidak akan pernah selesai diterangkan.
Hakikat ilmu adalah sebab
fundamental dan kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya.
Dengan memahami filsafat ilmu, berarti memahami seluk-beluk ilmu yang
paling mendasar, sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan
pengembangannya, keterjalinan antar cabang ilmu yang satu dengan yang lain.
Bidang garapan filsafat ilmu
terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi
eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi ilmu
meliputi apa hakekat ilmu itu, apa hakekat kebenaran dan kenyataan yang inheren
dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafati
tentang apa dan bagaimana (yang) “ada”itu (being, seni, het zijin).
Adapun epistemologi ilmu, meliputi sumber sarana, dan tata cara menggunakan
sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Perbedaan mengenai pilihan
landasan ontologi akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam
menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft),
pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan
sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal adanya model-model
epistemologi seperti rasionalisme, empirisme, kritisme atau rasionalisme
kritis, positivisme, fenomenologi dengan berbagai variasinya. Ditunjukkan pula
bagaimana kelebihan dan kekurangan sesuatu model epistemologi beserta tolak
ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi, korespondensi,
pragmatisme, dan teori intersubjektif. Sedangkan aksiologi meliputi nilai-nilai
(value) yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran
atau kenyataan sebagaimana kita jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi
berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun
fisik-materil. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini
sebagai suatu condicio since quanon yang dipatuhi dalam kegiatan kita,
baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Jujun S. Suriasumantri[2] mengatakan bahwa setiap jenis pengetahuan
mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana
(epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga
landasan ini sangat berkaitan, jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi
ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya.
Berangkat dari hal tersebut,
epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu,
dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik
untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu[3]. Apakah obyek kajian ilmu itu, dan seberapa
jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan kebenaran yang bagaimana yang
bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif, absolut atau
relatif.
Subyek ilmu adalah manusia, dan
manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, sehingga kajian ilmu pada
realitasnya selalu berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi
hidup manusia sendiri, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya,
dan setiap batas-batas itu, dengan sendirinya selalu membawa
konsekwensi-konsekwensi tertentu. Batas-batas waktu hidup seseorang berpengaruh
pada kualitas kajiannya, sehingga banyak sekali revisi dan koreksi dilakukan
oleh seseorang terhadap hasil kajiannya yang terdahulu.
Epistemologi berasal dari bahasa
Yunani, “episteme”[4], yang berarti pengetahuan. Epistemologi
adalah pengetahuan sebagai upaya menempatkan sesuatu di dalam kedudukan yang
setepatnya[5]. Menurut Paul Edward mengatakan bahwa epistemologi,
or the theory of knowledge is that branch of philoshopy which is concernd with
the nature and scope of knowledge, its presupposition and basis, and in the
general realibility of claim to knowledge. (Epistemologi atau teori
pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakekat dan lingkup
pengetahuan, dasar dan pengandaian-pengandaiannya serta secara umum hal dapat
diandaikannya penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan). Sedangkan menurut
Runes sebagaimana dikutip oleh Harold H. Titus[6] mengatakan bahwa epistemology is the
branch of philosophy wich investigates the origin, structure, metods and
validity of knowledge.
Sesuai pengertian tentang
epistemologi tersebut di atas maka tinjauan epistemologi dalam hal ini meliputi
:
- Sumber-sumber ilmu
- Cara memperoleh ilmu
- Ruang lingkup ilmu
- Validitas pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu
bagain dari filsafat sistematik yang paling sulit. Sebab epistemologi
menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang luas jangkauan metafisika
sendiri. Selain itu, pengetahuan merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Kendati demikian,
menurut P. Hardono Hadi[7], kalau kita berani memasuki permasalahan
epistemologi, akan tampak betapa pentingnya suatu upaya untuk mendasarkan
pembicaraan sehari-hari pada pertanggung jawaban ilmiah. Hal ini penting untuk
membedakan hal manakah yang perlu dipercaya, dipegang dan dipertahankan, dan
hal manakah yang kiranya cukup ditanggapi dengan sikap “biasa”.
Terdapat tiga persoalan pokok dalam
bidang ini : Pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu ? Di manakah
pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya ?. Kedua,
apakah sifat dasar pengetahuan itu ? Apakah ada dunia yang benar-benar berada
di luar pikiran kita, kalau ada apakah kita mengetahuinya ? Ini persoalan
tentang apa yang kelihatan (phenomena atau appearance) versus hakikat (noumena
atau essence). Ketiga, apakah pengetahuan kita itu benar (valid) ? Serta
bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah ? Ini adalah soal
tentang mengkaji kebenaran atau verivikasi[8].
Semenjak manusia diciptakan, manusia
memiliki alat guna memperoleh epistemologi, yaitu “indera”. Manusia memiliki
berbagai macam indera ; indera penglihatan, indera pendengaran, indera peraba.
Seandainya manusia kehilangan semua indera itu, maka ia akan kehilangan semua
bentuk epistemologi. Ada sebuah ungkapan yang amat populer sejak dahulu kala,
dan kemungkinan itu adalah ungkapan yang datangnya dari Aristoteles “barang
siapa yang kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu ilmu”. Setiap
manusia yang kehilangan salah satu inderanya, maka ia juga akan kehilangan
salah satu bentuk epistemologi. Jika seseorang dilahirkan dalam keadaan buta,
maka ia tidak mungkin dapat membayangkan warna-warni, berbagai bentuk dan
jarak. Kita tidak akan mampu memberikan penjelasan kepadanya mengenai suatu
warna, sekalipun dengan menggunakan berbagai macam kalimat dan ungkapan guna
mendefinisikan warna itu agar ia dapat mengenalinya. Kita juga tidak akan mampu
untuk menjelaskan kepadanya mengenai warna dari suatu benda.
Selain alat indera yang dimiliki
oleh manusia tersebut, manusia juga masih memerlukan pada satu perkara ataupun
beberapa perkara yang lain dalam memperoleh pengetahuan, manusia terkadang
memerlukan pada suatu bentuk pemilahan dan penguraian serta adakalanya
memerlukan berbagai macam bentuk pemilahan dan penguraian[9]. Pemilahan dan penguraian merupakan aktivitas
rasio itu, adalah meletakkan berbagai perkara pada kategorinya masing-masing,
di mana hal itu disebut dengan pemilahan. Begitu juga dengan penyusunan dalam
bentuk khusus, dan di sini logika yang bertugas melakukan aktivitas pemilahan
dan penyusunan, yang mana hal ini memiliki penjelasan yang panjang. Sebagai
contoh, jika kita mengenal berbagai macam permasalahan ilmiah, maka mereka akan
mengatakan kepada kita, “yang itu masuk dalam kategori kuantitas dan yang ini
masuk dalam kategori kualitas, dan di sini perubahan kuantitas telah berubah
menjadi perubahan kualitas”.
Sumber epistemologi adalah alam
semesta ini. Yang dimaksud dengan alam, adalah alam materi, alam ruang dan
waktu, alam gerak, alam yang sekarang kita tengah hidup di dalamnya, dan kita
memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai alat indera kita.
Sedikit sekali fakultas yang menolak alam sebagai sumber epistemologi, tetapi
baik pada masa duhulu dan juga pada masa sekarang ini ada beberapa ilmuwan yang
tidak mengakui alam sebagai suatu sumber epistemologi. Plato tidak mengakui
alam sebagai sumber epistemologi, karena hubungan manusia dengan alam adalah
dengan perantaraan alat indera dan sifatnya particular bukanlah suatu
hakikat. Pada dasarnya ia hanya meyakini rasio sebagai sumber epistemologi, dan
dengan menggunakan suatu metode argumentasi, di mana Plato menamakan metode dan
cara tersebut dengan “dialektika”.
Sedangkan sumber yang lain adalah
masalah kekuatan rasio dan pikiran manusia. Setelah kita mengakui bahwa alam
ini merupakan “sumber luar” bagi epistemologi, lalu apakah manusia juga
memiliki “sumber dalam” bagi epistemologi ataukah tidak memiliki ?. Hal ini
tentunya berkaitan erat dengan masalah rasio, berbagai perkara yang rasional,
berbagai perkara yang sifatnya fitrah. Ada beberapa fakultas yang menyakatan
bahwa kita memiliki “sumber alam” itu, sementara sebagian yang lain menafikan
keberadaannya. Ada sebagian fakultas yang meyakini keterlepasan rasio dari
indera, dan semua permasalahan itu akan menjadi jelas, setelah kita memasuki
berbagai pembahasan yang akan datang.
- D. Guru dan Problematika Profesionalisme Keguruan
Guru dalam proses pembelajaran pada
suatu lembaga pendidikan berfungsi sebagai mediator dalam penyampaian
materi-materi yang diajarkan kepada peserta didik, untuk kemudian ditindak
lanjuti oleh peserta didik dalam kehidupan nyatanya, baik di dalam sekolah
maupun di luar sekolah. Dalam proses pembelajaran ini, untuk menjadi guru yang
profesional, hendaknya guru memiliki dua kategori, yaitu capability dan loyality,
artinya guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang
diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari
mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi dan memiliki loyalitas
keguruan, yakni loyal kepada tugas-tugas keguruan yang tidak semata-mata di
dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah di kelas[10].
Pekerjaan guru merupakan profesi
atau jabatan yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Menurut Usman[11], tugas profesi guru meliputi : mendidik,
mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan
keterampilan-keterampilan kepada anak didik. Sementara tugas sosial guru tidak
hanya terbatas pada masyarakat saja, akan tetapi lebih jauh guru adalah orang
yang diharapkan mampu mencerdaskan bangsa dan mempersiapkan manusia-manusia
yang cerdas, terampil dan beradab yang akan membangun masa depan bangsa dan
negara. Semakin akurat para guru melaksanakan fungsinya, semakin terjamin
tercipta dan terbinanya sumber daya manusia yang andal dalam melakukan
pembangunan bangsa.
Secara sederhana tanggung jawab guru
adalah mengarahkan dan membimbing para murid agar semakin meningkat
pengetahuannya, semakin mahir keterampilannya dan semakin terbina dan
berkembang potensinya. Dalam hubungan ini ada sebagian ahli yang mengatakan
bahwa guru yang baik adalah guru yang mampu melaksanakan inspiring teaching[12], yaitu guru yang melalui kegiatan
mengajarnya mampu mengilhami murid-muridnya. Melalui kegiatan mengajar yang
dilakukannya seorang guru mampu mendorong para siswa agar mampu mengemukakan
gagasan-gagasan besar dari murid-muridnya.
Persoalan guru dalam dunia
pendidikan senantiasa mendapat perhatian besar dari pemerintah maupun
masyarakat. Pemerintah memandang mereka sebagai media yang sangat
penting, artinya bagi pembinaan dan pengembangan bangsa. Mereka adalah
pengemban tugas-tugas sosial kultural yang berfungsi mempersiapkan generasi
muda sesuai dengan cita-cita bangsa. Sementara masyarakat memandang pekerjaan
guru merupakan pekerjaan istimewa yang berbeda dengan pekerjaan-pekerjaan lain[13]. Dalam pandangan masyarakat, pekerjaan guru
bukan semata-mata sebagai mata pencaharian belaka yang sejajar dengan pekerjaan
tukang kayu atau pedagang atau yang lain. Pekerjaan guru menyangkut pendidikan
anak, pembangunan negara dan masa depan bangsa.
Masyarakat memberikan harapan besar
pada guru guna melahirkan generasi masa depan yang lebih baik. Mereka
diharapkan menjadi suri tauladan bagi anak didiknya dan mampu membimbing mereka
menuju pola hidup yang menjunjung tinggi moral dan etika. Guru telah
diposisikan sebagai faktor terpenting dalam proses belajar mengajar. Kualitas
dan kompetensi guru dianggap memiliki pengaruh terbesar terhadap kualitas
pendidikan[14]. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya apabila
guru dituntut untuk bertindak secara profesional dalam melaksanakan proses
belajar mengajar guna meningkatkan kualitas pendidikan yang mereka lakukan.
Tuntutan seperti ini sejalan dengan perkembangan masyarakat modern yang
menghendaki bermacam-macam spesialisasi yang sangat diperlukan dalam masyarakat
yang semakin lama semakin kompleks. Tuntutan kerja secara profesional juga
dimaksudkan agar guru berbuat dan bekerja sesuai dengan profesi yang
disandangnya.
Berbicara tentang kerja yang
profesional mengharuskan kita untuk mengetahui terlebih dahulu pengertian
profesi sebagai bentuk dasar kata profesional tersebut. Menurut Volmer dan
Mills, bahwa pada dasarnya profesi adalah sebagai suatu spesialisasi dari
jabatan intelektual yang diperoleh melalui studi dan training, bertujuan
mensuplay keterampilan melalui pelayanan dan bimbingan pada orang lain untuk
mendapatkan bayaran (fee) atau (salary) gaji. Dalam
prespektif sosiologi, bahwa profesi itu sesungguhnya suatu jenis model atau
tipe pekerjaan ideal, karena dalam realitasnya bukanlah hal yang mudah untuk
mewujudkannya.
Sedangkan profesionalisme adalah
proses usaha menuju ke arah terpenuhinya persyaratan suatu jenis model
pekerjaan ideal berkemampuan, mendapat perlindungan, memiliki kode etik
profesionalisasi, serta upaya perubahan struktur jabatan sehingga dapat
direfleksikan model profesional sebagai jabatan elit. Sedangkan profesi
itu sendiri pada hakekatnya adalah sikap bijaksana (informend
responsiveness) yaitu pelayanan dan pengabdian yang dilandasi oleh
keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur yang mantap diiringi sikap kepribadian
tertentu.[15]
Dari pengertian di atas, dapat
dipahami bahwa sebuah profesi mengandung sejumlah makna yang dapat disimpulkan
sebagai berikut :
- Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan
- Profesi dipilih oleh seseorang atas kesadaran yang dalam
- Dalam profesi terkandung unsur pengabdian
Dengan demikian, bekerja secara
profesional berarti bekerja secara baik dan dengan penuh pengabdian pada satu
pekerjaan tertentu yang telah menjadi pilihannya. Guru yang profesional akan
bekerja dalam bidang kependidikan secara optimal dan penuh dedikasi guna
membina anak didiknya menjadi tenaga-tenaga terdidik yang ahli dalam bidang
yang menjadi spesialisnya. Hal ini dengan sendirinya menuntut adanya kemampuan
atau keterampilan kerja tertentu. Dari sisi ini, maka keterampilan kerja
merupakan salah satu syarat dari suatu profesi. Namun tidak setiap orang yang
memiliki keterampilan kerja pada satu bidang tertentu dapat disebut sebagai
profesional. Keterampilan kerja yang profesional didukung oleh konsep dan teori
terkait. Dengan dukungan teori ini memungkinkan orang yang bersangkutan tidak
saja menguasai bidang itu, akan tetapi juga mampu memprediksi dan
mengontrol suatu gejala yang dijelaskan oleh teori itu. Atas dasar inilah, maka
pekerjaan profesional memerlukan pendidikan dan latihan yang bertaraf tinggi
yang kalau diukur dari jenjang pendidikan yang ditempuh memerlukan pendidikan
pada tingkat perguruan tinggi[16]. Dengan berbekal profesionalisme yang tingi
pada setiap pendidik (guru) tersebut, maka dunia pendidikan di Indonesia akan
menjadi terangkat.
Namun dewasa ini, dunia pendidikan
kita sedang dilanda krisis “profesionalisme guru”, khususnya yang terjadi pada
lembaga pendidikan Islam, karena disebabkan oleh berbagai hal. Hal tersebut
menjadi problematika dunia pendidikan dan menjadi belenggu bagi terciptanya
suatu tatanan pendidikan yang mapan dalam upaya penciptaan mutu lulusan yang capabel
di bidang keilmuannya, skillnya dan bahkan akhlaqnya.
Krisis profesionalisme guru dalam
dunia pendidikan merupakan problematika tersendiri bagi dunia pendidikan
dalam menciptakan mutu yang baik yang disebabkan oleh kurangnya kesadaran guru
akan jabatan dan tugas yang diembannya serta tanggung jawab keguruannya. Guru
hanya menganggap “mengajar” sebagai kegiatan untuk mencari nafkah semata atau
hanya untuk memperoleh salary dan sandang pangan demi survival fisik
jangka pendek, agaknya akan berbeda dengan cara seseorang yang memandang tugas
atau pekerjaannya sebagai calling profesio dan amanah yang hendak
dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan[17].
Disamping itu munculnya sikap malas
dan tidak disiplin waktu dalam bekerja dapat bersumber dari pandangannya
terhadap pekerjaan dan tujuan hidupnya. Karena itu, adanya etos kerja yang kuat
pada seseorang guru memerlukan kesadaran mengenai kaitan suatu pekerjaan dengan
pandangan hidupnya yang lebih menyeluruh dan memberinya keinsyafan akan makna
dan tujaun hidunya.
Hal yang mempengaruhi terhadap
lemahnya sikap profesionalisme dan etos kerja guru disebabkan oleh dua faktor
penting :
- Faktor pertimbangan internal, yang menyangkut ajaran yang diyakini atau sistem budaya dan agama, semangat untuk menggali informasi dan menjalin komunikasi.
- Faktor pertimbangan eksternal yang menyangkut pertimbangan historis, termasuk di dalamnya latar belakang pendidikan dan lingkungan alam di mana ia hidup, pertimbangan sosiologis atau sistem sosial di mana ia hidup dan pertimbangan lingkungan lainnya.
Dalam konteks pertimbangan
eksternal, terutama yang menyangkut lingkungan kerja, ada beberapa hal yang
dapat mempengaruhi semangat kinerja guru, yaitu : (1) volume upah yang dapat
memenuhi kebutuhan seseorang (2) suasana kerja yang menggairahan atau iklim
yang ditunjang dengan komunikasi demokrasi yang serasi dan manusiawi antara
pimpinan dan bawahan (3) penanaman sikap dan pengertian di kalangan pekerja (4)
sikap jujur dan dapat dipercaya dari kalangan pimpinan terwujud dalam kenyataan
(5) penghargaan terhadap need for achievement (hasrat dan kebutuhan
untuk maju) atau penghargaan terhadap yang berperstasi (reward and
punishment) dan (6) sarana yang menunjang bagi kesejahteraan mental dan
fisik[18].
- E. Telaah Epistemologis Menuju Profesionalisme Guru dalam Dunia Keilmuan Islam
Menghadapi problematika dunia
pendidikan dewasa ini yang berkaitan dengan penyiapan tenaga pendidik (guru)
yang profesional merupakan tantangan tersendiri yang membutuhkan penyelesaian
secara epistemologis. Problematika tersebut antara lain, mampukah dunia
pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat memainkan peranan secara fungsional
di tengah-tengah dunia keilmuan yang sedang berkembang, dan mampukah dunia
pendidikan menciptakan mutu lulusan yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam
seperti sedia kala (seperti masa keemasan dunia keilmuan Islam).
Tantangan tersebut bila dapat
dijawab secara tepat akan menjadi peluang yang akan memberikan keuntungan yang
luar biasa bagi terciptanya profesionalisme guru yang berimplikasi pada
penyiapan mutu lulusan yang mampu mengangkat dunia keilmuan Islam. Hal tersebut
perlu dikemukakan karena secara kelembagaan dunia pendidikan dengan ujung
tombak guru merupakan lembaga yang dipercaya untuk menyiapkan kader pemimpin
masa depan bangsa. Berkaitan dengan ini, maka upaya untuk membangun
profesionalisme guru secara epistemologis tidak dapat ditunda-tunda lagi. Untuk
itu, beberapa pemikiran epistemologis guna menciptakan profesionalisme guru
yang dapat mengangkat dunia keilmuan Islam di bawah ini perlu dipertimbangkan
dan direnungkan.
Pertama, telah banyak pemikiran yang
dikemukakan para ahli dalam rangka menjawab pertanyaan yang dihadapi lembaga
pendidikan tersebut. Sebagian pakar mengajukan konsep cooperative kearning. Argumen
yang diajukan berkenaan dengan konsep ini adalah masalah-masalah yang kita
hadapi dewasa ini dan di masa depan sebenarnya bersifat saling berkaitan dan
lebih tepat kalau dipandang sebagai jaringan-jaringan masalah yang kompleks.
Dengan konsep belajar itu, setiap masalah akan didekati dengan pendekatan yang
bersifat holistic dan integrated, mengingat masalah pendidikan
bukanlah masalah yang bersifat hierarkis struktural, melainkan saling terkait
dengan masalah lain secara horizontal. Kerja sama dunia pendidikan dengan
lembaga-lembaga pendidikan lainnya, perusahaan, industri, yayasan dan lain
sebagainya sangat diperlukan dalam rangka pembinaan dan peningkatan
profesionalisme guru dalam mempersiapkan mutu lulusan yang mampu menciptakan
kemajuan dalam dunia keilmuan Islam seperti halnya kemajuan yang pernah dicapai
oleh dunia keilmuan Islam tempo dulu.
Kedua, Torstein Hussein dalam
bukunya Learning Society, sebagaimana dikutip oleh Abudin Nata
mengajukan konsep yang disebut sebagai “masyarakat belajar”[19]. Menurut konsep ini, belajar di masa
sekarang tidak dapat hanya dilakukan di ruang kelas, tetapi dengan cara
mengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat ke dalam
kegiatan belajar mengajar. Bahan-bahan informasi yang terdapat di berbagai
media massa, seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, komputer dan lain
sebagainya harus didayagunakan untuk kepentingan proses pembelajaran. Melalui
hal ini, guru akan mendapatkan suatu arahan, pembinaan mengenai hal-hal yang
dapat meningkatkan keprofesionalannya dalam proses pembelajaran di lembaga
pendidikan di mana ia bertugas, sehingga ia dapat dengan mudah menciptakan
kualitas dan mutu peserta didiknya yang up to date dan sesuai dengan
harapan masyarakat.
Ketiga, problematika dunia
pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, menghendaki dunia pendidikan menata
ulang berbagai aspek pendidikan yang selama ini dilakukan. Aspek-aspek pendidikan
seperti dasar pendidikan, tujuan, kurikulum, metode dan pendekatan yang
digunakan, sarana dan prasarana yang tersedia, lingkungan, evaluasi dan
sebagainya perlu ditinjau ulang. Mengingat gurulah yang berada paling depan
dalam kegiatan pendidikan, maka guru harus memiliki kesadaran dan tanggung
jawab akan tugas dan profesi yang diembannya dan jangan pernah menganggap
profesinya itu sebagai kegiatan untuk mencari uang saja atau untuk hidup survive
dalam waktu jangka pendek. Dalam diri guru harus ditanamkan sikap tanggung
jawab yang tinggi terhadap tugas yang diembannya dan guru harus memiliki
sikap-sikap sebagai manusia yang berfikir rasional, dinamis, kreatif, inovatif,
beroientasi pada produktivitas, bekerja secara profesional, berwawasan luas,
berpikir jauh ke depan, menghargai waktu dan seterusnya. Selain itu, diperlukan
penanaman kepribadian yang tangguh dan pembudayaan akhlaqul karimah dalam
setiap perbuatan kesehariannya agar menjadi suri tauladan bagi peserta
didiknya.
Keempat, dalam rangka penyiapan
profesionalisme guru yang mampu mengangkat terhadap dunia keilmuan Islam,
diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, utamanya pemimpin lembaga pendidikan
sebagai pembuat kebijakan di sekolah. Dalam hal ini, pemimpin lembaga
pendidikan Islam hendaknya memiliki pandangan ke depan (visioner) terhadap
lembaga pendidikan yang dipimpinnya, sehingga ia akan termotivasi untuk selalu
meningkatkan kinerja stafnya (termasuk guru) menuju kepada profesionalitas yang
tinggi dalam rangka menyiapkan mutu lulusannya yang mampu mengangkat dunia
keilmuan Islam. Di samping itu, untuk meningkatkan profesionalisme gurunya,
pemimpin hendaknya memiliki strategi yang efektif dan efisien dalam mewujudkan
guru yang profesional tersebut, sehingga visi, misi dan target pendidikan yang
berlangsung dalam lembaga yang dipimpinnya dapat tercapai, apakah dengan
memberikan reward bagi yang berhasil dan sukses atau memberikan
pengarahan lebih lanjut atau bahkan punishment bagi mereka yang tidak
mau meningkatkan keprofesionalannya dan lain sebagainya.
Disamping peran pemimpin dalam
lembaga pendidikan, maka diperlukan pula political will atau kebijakan
politis dari pemerintah dalam rangka menciptakan guru yang profesional, misalnya
dengan memberikan penyuluhan, pelatihan, pemberian dana dalam upaya peningkatan
profesionalitas guru agar supaya tercipta sosok guru yang profesional dan
bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Tentunya dengan adanya kerja
sama dari berbagai pihak tersebut, maka tantangan apapun yang berkaitan dengan
upaya peningkatan profesionalisme guru dapat teratasi dengan mudah.
- F. Kesimpulan
- Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu yang tinjauannya meliputi : sumber-sumber ilmu, cara memperoleh ilmu, ruang lingkup ilmu dan validitas pengetahuan.
- Guru yang profesional harus guru memiliki dua kategori, yaitu capability dan loyality, artinya guru itu harus memiliki kemampuan dalam bidang ilmu yang diajarkannya, memiliki kemampuan teoritik tentang mengajar yang baik, dari mulai perencanaan, implementasi sampai evaluasi dan memiliki loyalitas keguruan, yakni loyal kepada tugas-tugas keguruan yang tidak semata-mata di dalam kelas, tapi sebelum dan sesudah di kelas
- Problematika profesionalisme guru disebabkan oleh kurangnya kesadaran guru akan jabatan dan tugas yang diembannya serta tanggung jawab keguruannya secara vertikal maupun horizontal dan munculnya sikap malas dan tidak disiplin waktu dalam bekerja yang mengarah pada lemahnya etos kerja.
- Untuk mengatasi problematika pendidikan yang berkaitan dengan profesionalisme guru diperlukan kerja sama dunia pendidikan dengan instansi-instansi lain, pengintegrasikan seluruh sumber informasi yang ada di masyarakat ke dalam kegiatan belajar mengajar, penananaman tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang diembannya dan pembudayaan akhlaqul karimah dalam setiap perbuatan kesehariannya serta diperlukan kerja sama dari berbagai pihak, utamanya pemimpin lembaga pendidikan dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Ghafur, 1989, Desain
Instruksional , Tiga Serangkai, Solo.
Abudin Nata, 2001, Paradigma
Pendidikan Islam : Kapita Selekta Pendidikan Islam, PT Gramedia, Jakarta.
Ahmad Tafsir, 2001, Filsafat Ilmu
Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra, Rosda Karya, Bandung.
Dede Rosyada, 2004, Paradigma
Pendidikan Demoratis, Kencana, Jakarta.
Jujun S. Suriasumantri, 1996, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Harold H. Titus, 1984, Persoalan-persoalan
Filsafat, (penerjemah M. Rasyidi), Bulan Bintang, Jakarta.
Moch. Agus Krisno Budianto, 2004, Hand
Out Filsafat Ilmu, PPS Univ. Muhammadiyah Malang, Malang.
Mochtar Buchori, 1994, Ilmu
Pendidikan dan Praktek Pendidikan dalam Renungan, IKIP Muhammadiyah Perss,
Jakarta.
Muhammad Ali, 1992, Pengembangan
Kurikulum di Sekolah, Sinar Baru, Bandung.
Muhaimin, 2002, Paradirgma
Pendidikan Islam : Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Murtadha Muthahhari, 2001, Mengenal
Epistemologi, Lentera Basritama, Jakarta.
Musa Asy’ari, 2001, Filsafat
Islam (Sunnah Nabi dalam berfikir), LEFSI, Yogyakarta.
M. U. Usman, 1999, Menjadi Guru
Profesional, Remaja Rosdakarya, Band
0 comments:
Post a Comment